Jumat, 02 Maret 2012

TB PARU

TB PARU
Latar Belakang
       Dalam Indonesia Sehat 2025, lingkungan strategis pembangunan kesehatan yang diharapkan adalah lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya keadaan jasmani, rohani maupun sosial, yaitu lingkungan yang bebas dari kerawanan sosial budaya dan polusi, tersedia air minum dan sarana sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan pemukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang berwawasan kesehatan, serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang memiliki solidaritas sosial dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa (http://www.indonesia sehat 2025.com/ diakses tanggal 31 Mei 2011 pukul 14.15 WITA).
       Hal ini akan sejalan bila masyarakat Indonesia terbebas dari masalah kesehatan, dimana angka kesakitan (morbilitas) dan angka kematian (mortalitas), mulai bergeser pada masalah kesehatan dengan gangguan sistem pernafasan yang salah satunya adalah tuberkulosis paru.
    Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Angka kematian karena Tuberkulosis Paru sekitar 3 juta penderita tiap tahun, dimana 75% didapatkan di negara tersebut (Hood Alsagaff & H. Abdul Mukty, 2010: 75).
    Perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia yang sangat pesat termasuk di bidang kesehatan dan tekhnologi dalam bidang kesehatan, memberikan dampak pada mahalnya biaya kesehatan, hal itu tidak diimbangi dengan perkembangan sosial ekonomi yang ada dimasyarakat. Seiring hal diatas dimana angka kejadian dan kematian tuberkulosis paru sangat banyak dan cendrung meningkat, maka semakin komplekslah masalah kesehatan kasus tuberkulosis paru ini untuk dilaporkan.
    Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang paru-paru yang disebabkan oleh kuman Mycoobakterium Tuberculosis. Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah (Hood Alsagaff & H. Abdul Mukty 2010: 73).
    Paru–paru, organ penting satu ini merupakan salah satu organ vital bagi kehidupan manusia, khususnya berfungsi pada sistem pernapasan manusia, dan bertugas sebagai tempat pertukaran oksigen yang dibutuhkan manusia dan mengeluarkan karbondioksida yang merupakan hasil sisa proses pernapasan yang harus dikeluarkan dari tubuh, sehingga kebutuhan tubuh akan oksigen tetap terpenuhi. Udara sangat penting bagi manusia, tidak menghirup oksigen beberapa menit dapat menyebabkan kematian. (http://www.kenali penyakit paru-paru.com/diakses tanggal 31 Mei 2011 pukul 19:07 WITA).
    Banyak dampak yang dapat ditimbulkan oleh penyakit tuberkulosis paru. Seperti diantaranya dampak biologis, psikologis, sosial, dan spiritual klien yang menderita tuberkulosis paru akan mempengaruhi respon psikologis yang bervariasi tergantung dari koping yang dimiliki oleh masing masing individu. Dampak bagi individu penderita penyakit tuberkulosis paru dari segi fisik dapat menjadi sangat lemah, pucat, nyeri dada, berat badan turun, demam/berkeringat. Segi psikologis penderita tuberkulosis paru akan merasa takut akan penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan. Merasa dikucilkan dari masyarakat serta merasa minder/tidak percaya diri.
Kira-kira 65% penderita penyakit tuberkulosis paru yang tidak diobati akan meninggal dalam waktu 5 tahun. Sehingga bagi penderita tuberkulosis paru akan merasa kehilangan dan rasa berduka akan kehidupannya selama ini. Dampak bagi keluarga penderita penyakit tuberkulosis paru yang tidak diobati dengan baik bisa menularkan bakteri Mycoobakterium Tuberkulosis pada keluarganya, termasuk anaknya. Mereka juga tidak dapat bebas bergaul karena akan menularkan bakteri Mycoobakterium Tuberkulosis. Hal ini sangat sulit bila mereka tinggal dalam satu rumah dengan banyak orang.  
Dan dampak bagi masyarakat, tuberkulosis paru banyak menyerang anggota masyarakat usia bekerja (15-54 tahun) jadi kuranglah tenaga terampil. Tuberkulosis paru banyak menyerang masyarakat golongan ekonomi lemah, sehingga menambah tingkat kemiskinan.
    Sedangkan bagi pemerintahan, pengobatan tuberkulosis paru sangat mahal. Pemerintah harus menyiapkan dana yang besar untuk menyediakan obat-obatan. Dana untuk obat tersebut dapat digunakan untuk kepentingan membangun daerah (http://www.kenali penyakit paru-paru .com/ tuberkulosis/dampak tuberkulosis/diakses tanggal 31 Mei 2011 pukul 19:07 WITA).
      Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 9,40 juta orang TBC aktif pada tahun 2009, naik dari 9.27 juta pada tahun 2008 dan 9.24 juta pada tahun 2007. Di antara 15 negara dengan tingkat kejadian TBC tertinggi di tahun 2007, 13 negara di Afrika, sementara separuh dari semua kasus baru di enam negara Asia separti Bangladesh, Cina, India, Indonesia, Pakistan dan Filipina (http://www.tempointeraktif.com oleh Nur Haryanto/ diakses tanggal 29 Mei 2011 jam 11.22 WITA).
     Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2009 menyatakan jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia sekitar 528 ribu berada di posisi tiga di dunia setelah India dan Cina. Laporan WHO pada tahun 2010, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar pada tahun 2010 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (http://www.harianjoglosemar.com.jumlah penderita tbc di indonesia turun/diakses tanggal 31 Mei 2011 pukul 18:10 WITA).
     Di Kalimantan Selatan, Penyakit menular mematikan masih tinggi sampai dengan tahun 2010. Dikatakan Kantor Pusat Kesehatan Kalimantan Selatan, berdasarkan data catatan Departemen Kesehatan Kalimantan Selatan, selama tahun 2010 di wilayah ini sebanyak 3.220 orang masih menderita TBC positif, Departemen Kesehatan terus menjadi perhatian untuk menangkap sebanyak mungkin kasus TBC untuk disembuhkan (http://www.banjarmasinpost.com/Orang Banua Menderita TBC/diakses tanggal 31 Mei 2011 pukul 22.00 WITA).
     Sedangkan berdasarkan dari hasil studi pendahuluan di ruang perawatan Dahlia di RSUD Ulin Banjarmasin dalam satu tahun didapatkan data 10 penyakit terbanyak ditahun 2009 dan 2010, data tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.1.     Data 10 Penyakit Terbanyak Di Ruang Perawatan Dahlia RSUD ULIN Banjarmasin Bulan Januari Sampai Desember 2009
No    Nama Penyakit    Jumlah    %
1.    TB Paru    453    54,19
2.    Asma Bronchial    138    16,51
3.    Efusi Pleura    70    8,37
4.    Ca Paru    58    6,94
5.    PPOK/COPD    34    4,07
6.    SOPT    27    3,23
7.    Hemaptoe    22    2,64
8.    Pheumo Thorax    13    1,57
9.    Pneumonia    12    1,40
10.    Suspect KP    9    1,08
Total    836    100
Sumber : Ruang Dahlia RSUD ULIN Banjarmasin 2011
Berdasarkan dari data tabel tersebut, tuberkulosis paru menempati urutan pertama dari distribusi 10 penyakit terbanyak di ruang perawatan Dahlia dengan jumlah 453 dari 836 orang dengan prevalensi 54,19 %. Sedangkan pada tahun 2010 adalah sebagai berikut:
Tabel 1.2.     Data 10 Penyakit Terbanyak Di Ruang Perawatan Dahlia RSUD ULIN Banjarmasin Bulan Januari Sampai Desember 2010
No    Nama Penyakit    Jumlah    %
1.    TB Paru    389    48,14
2.    Asma Bronchial    82    10,15
3.    Ca’Paru    81    10,02
4.    Efusi pleura    76    9,41
5.    PPOK/COPD    43    5,32
6.    Lain-Lain    39    4,83
7.    SOPT    36    4,46
8.    Hemaptoe    25    3,09
9.    Pneumo Thorax    22    2,72
10.    Pneumonia    15    1,86
Total    808    100
Sumber : Ruang Dahlia (Paru) RSUD ULIN Banjarmasin 2011
Berdasarkan dari data tersebut tuberkulosis paru menempati urutan pertama dari distribusi 10 penyakit terbanyak di ruang perawatan Dahlia (Paru) dengan jumlah 389 dari 808 orang dengan prevalensi 48,14 %.
Berdasarkan data dari tabel 1.1 dan tabel 1.2 tersebut, terjadi penurunan angka penderita tuberkulosis paru dari tahun 2009 dan 2010. Walaupun  mengalami penurunan jumlah penderita dalam dua tahun terakhir tersebut tuberkulosis paru selalu menempati posisi pertama. Dengan prevalensi hamper 50 % dari jumlah pasien.
Hal ini menandakan tuberkulosis paru tetap menjadi masalah kita semua, terutama bagi dunia keperawatan karena sering kali dianggap hal yang tidak terlalu berbahaya tetapi apabila dibiarkan akan dapat menimbulkan kematian.
Menurut hasil data tersebut pentingnya tindak lanjut dari pihak rumah sakit, khususnya perawat. Peran perawat yang utama adalah memenuhi kebutuhan dasar manusia dan tercapainya suatu kepuasan bagi diri sendiri selaku perawat serta kliennya, meskipun dalam kenyataannya perawat dapat belajar secara langsung dari kasus tuberkulosis paru (Nursalam, 2008: 5).

1.    Pengertian
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobakterium tuberculosis. Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan bagian bawah (Hood Alsagaff dan H. Abdul Mukty, 2010: 73).
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh pembentukan granulumo dan menimbulkan nekrosi jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain (Santa Manurung, 2009: 105).
Menurut Niluh Gede Yasmin Asih dan Christantie Effendy (2004: 82),  tuberkulosis adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberkculosis, suatu basil aerobik tahan asam, yang ditularkan melalui udara (airborne). Pada hampir semua kasus, infeksi tuberkulosis didapat melalui inhalasi partikel kuman yang cukup kecil (sekitar 1-5 µm). Droplet dikeluarkan selama batuk, tertawa, atau bersin. Nukleus yang terinfeksi kemudian terhirup oleh individu yang terlebih dahulu harus melawan mekanisme pertahanan paru dan masuk jaringan paru.
Dari pengertian-pengertian diatas tentang tuberkulosis paru dapat disimpulkan bahwa tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh kuman micobakterium tuberkulosis yang menyerang salurang pernafasan bagian bawah yakni paru-paru.

3.    Klasifikasi
Berdasarkan terapi WHO membagi tuberkulosis menjadi 4 kategori:
a.    Kategori I: ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif dan kasus baru dengan batuk tuberkulosis berat.
b.    Kategori II: ditujukan terhadap kasus kambuh dan kasus gagal dengan sputum BTA positif.
c.    Kategori III: ditujukan terhadap kasus BTA negatif dengan kelainan  paru yang tidak luas dan kasus tuberkulosis ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I.
d.    Kategori IV: ditujukan terhadap tuberkulosis kronik.
     Klasifikasi yang sering dipakai di Indonesia adalah berdasarkan kelainan klinis, radiolis dan mikrobiologis:
1)    Tuberkulosis paru
2)    Bekas tuberkulosis paru
3)     Tuberkulosis paru tersangka
a)    Tuberkulosis paru yang terobati. Disini sputum BTA (negatif) tetapi tanda-tanda lain positif.
b)    Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Disini sputum negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.
(Arief Mansjoer, 2001: 373).

4.    Etiologi
TB Paru disebabkan oleh ”Mycobacterium Tuberculosis” sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/µm, dan tebal 0,3-0,6/µm. Kuman terdiri dari asam lemak, sehingga kuman lebih tahan asam dan tahan terhadap gangguan kimia fisis (Santa Manurung, 2009 : 105)
Mycobacterium Tuberkulosis adalah berupa lemak sehingga kuman tahan terhadap asam dan sangat tahan pada zat kimia dan faktor fisik. Mikrooorganisme ini bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, Mycobacterium Tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis (Arif Muttaqin,  2008: 59).

5.    Patofisiologi
Kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh melalui udara pernapasan. Bakteri yang terhirup akan dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli, tempat dimana mereka berkumpul dan mulai untuk berkembang biak.
Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit menekan banyak bakteri, limfosit spesifik tuberkulosis menghancurkan bakteri dan jaringan normal.
Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli yang dapat menyebabkan bronkhopneumonia. Infeksi awal biasanya terjadi 2 sampai 10 minggu setelah pemajanan.
Massa jaringan baru yang disebut granuloma merupakan gumpalan basil yang masih hidup dan sudah mati dikelilingi oleh makrofag dan membentuk dinding protektifgranuloma diubah menjadi jaringan fibrosa bagian sentral dari fibrosa  ini disebut ”TUBERKEL”. Bakteri dan makrofag menjadi nekrotik membentuk massa seperti keju.
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif karena tidak adekuatnya sistem imun tubuh. Penyakit aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri. Tuberkel memecah, melepaskan bahan seperti keju ke dalam bronkhi. Tuberkel yang pecah membentuk jaringan parut paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak dan mengakibatkan terjadinya bronkhopnneumonia lebih lanjut (Santa Manurung, 2009: 105-106).
Pohon Masalah
Invasi kuman Tuberkulosis via inhalasi








































Gambar 2.3 Patofisiologi Tuberkulosis paru yang mengarah masalah keperawatan
(Arif Muttaqin, 2008: 89)
6.    Tanda dan Gejala
Pada banyak individu yang terinfeksi tuberkulosis adalah asimptomatis. Pada individu lainnya, gejala berkembang secara bertahap sehingga gejala tersebut tidak dikenali sampai penyakit telah masuk tahap lanjut. Bagaimanapun, gejala dapat timbul pada individu yang mengalami imunosupresif dalam beberapa minggu setelah terpajan oleh basil. Manifestasi klinis yang umum termasuk keletihan, penurunan berat badan, letargi, anoreksia (kehilangan nafsu makan), dan demam ringan yang biasanya terjadi pada siang hari. ”Berkeringat malam” dan ansietas umum sering tampak. Dispnea, nyeri dada, dan hemoptisis adalah juga temuan yang umum  (Niluh Gede Yasmin Asih dan Christantie Effendy,  2004: 83)
Sedangkan menurut Santa Manurung (2008: 106-108), adapun tanda dan gejala yang ditemukan pada Tuberkulosisi paru, yaitu:
Pada stadium awal penyakit TB paru tidak menunjukkan tanda dan gejala yang spesifik. Namun seiring dengan perjalanan penyakit akan menambah jaringan parunya mengalami kerusakan, sehingga dapat meningkatkan produksi sputum yang ditunjukkan dengan seringnya klien batuk sebagai bentuk kompensasi pengeluaran dahak.
Selain itu, klien dapat merasa letih, lemah, berkeringat pada malam hari dan mengalami penurunan berat badan yang berarti. Secara rinci tanda dan gejala TB paru ini dapat dibagi atas 2 (dua) golongan yaitu gejala sistemik dan gejala repiratorik.
Gejala sistemik adalah:
a.    Demam
Demam merupakan gejala pertama dari tuberkulosis paru, biasanya timbul pada sore dan malam hari disertai dengan keringat mirip demam influenza yang segera mereda. Tergantung dari daya tahan tubuh dan virulensi kuman, serangan demam yang berikut dapat terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan. Demam seperti influenza ini hilang timbul dan semakin lama makin panjang masa serangannya, sedangkan masa bebas serangan akan semakin pendek. Demam dapat mencapai suhu tinggi yaitu 40°-41°C.
b.    ¬Malaise
Karena tuberkulosis bersifat radang menahun, maka dapat terjadi rasa tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan makin kurus, sakit kepala, mudah lelah dan pada wanita kadang-kadang dapat terjadi gangguan siklus haid.
Gejala respiratorik adalah:
a.    Batuk   
Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkhus. Batuk mula-mula terjadi oleh karena iritasi bronkhus; selanjutnya akibat adanya peradangan pada bronkhus, batuk akan menjadi produktif. Batuk produktif ini berguna untuk membuang produk-produk ekskresi peradangan. Dahak dapat bersifat mukoid atau purulen.


b.    Batuk Darah
Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat dan ringan batuk darah yang timbul, tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah. Batuk darah tidak selalu timbul akibat pecahnya aneurisma pada dinding kavitas, juga dapat terjadi karena ulserasi pada mukosa bronkhus. Batuk darah inilah yang paling sering membawa penderita berobat ke dokter.
c.    Sesak Nafas
Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru yang cukup luas. Pada awal penyakit gejala ini tidak pernah ditemukan.
d.    Nyeri Dada
Gejala ini timbul apabila sistem persyarafan yang terdapat di pleura terkena, gejala ini dapat bersifat lokal atau pleuritik.

7.    Komplikasi
   Komplikasi yang mungkin timbul pada klien TB Paru menurut (Santa Manurung, 2009: 112) dapat berupa:
a.    Malnutrisi
b.    Empiema
c.    Efusi pleura
d.    Hepatitis, ketulian dan gangguan gastrointestinal

8.      Pemeriksaan Penunjang
         Untuk menegakkan diagnosa TB paru, maka test diagnostik yang sering dilakukan pada klien adalah:
a.     Pemeriksaan Radiologis: foto rontgen toraks
       Tuberkulosis dapat memberikan gambaran yang bermacam-macam pada foto rontgen toraks, akan tetapi terdapat beberapa gambaran yang karakteristik untuk tuberkulosis paru yaitu:
1)     Apabila lesi terdapat terutama dilapangan diatas paru
2)    Bayangan berwarna atau bercak
3)    Terdapat kavitas tunggal atau multiple
4)    Terdapat klasifikasi
5)    Bila lesi bilateral terutama bila terdapat dilapangan atas paru
6)    Bayangan abnormal yang menetap pada foto torak.
b.      Pemeriksaan Laboratorium:
1)    Darah
Pada TB paru aktif biasanya ditemukan peningkatan leukosit dan laju endap darah (LED)
2)     Sputum BTA (Bakterilogik)
Dilakukan untuk menemukan kuman tuberkulosis. Diagnosa ditegakan bila ditemukan kuman tuberkulosis. Pemeriksaan penting untuk diagnosa definitive dan menilai kemajuan klien. Dilakukan tiga kali berturut-turut, biakan/kultur BTA selama 4-8 minggu (Santa Manurung, 2009: 108-110).

9.    Penatalaksanaan
a.    Obat anti TB Paru (OAT)
Menurut (Arif Mansjoer, 2001: 473) OAT  harus diberikan dalam kombinasi sedikitnya dua obat yang bersifat bakterisid dengan atau tanpa obat ketiga. Tujuan pemberian OAT, antara lain:
1)    Membuat konversi sputum BTA positif menjadi negative secepat mungkin melalui kegiatan bakterisid.
2)    Mencegah kekambuhan dalam tahun pertama setelah pengobatan dengan kegiatan sterilisasi.
3)    Menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesi melalui perbaikan daya tahan imunologis.
Maka pengobatan TB Paru dilakukan melalui 2 fase, yaitu:
1)    Fase awal intensif, dengan kegiatan bakterisid untuk memusnahkan populasi kuman yang membelah dengan cepat.
2)    Fase lanjutan, melalui kegiatan sterilisasi kuman pada pengobatan jangka pendek atau kegiatan bakteriostatik pada pengobatan konvensional.


b.    Paduan OAT di Indonesia :
Untuk program nasional pemberantasan Tuberkulosis paru, WHO menganjurkan panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan dalam program. Untuk itu, penderita dibagi dalam empat kategori sebagai berikut:
1)    Kategori I
Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan keadaan yang berat seperti meningitis, perikarditis, peritonitis, pleuritis masif atau bilateral, spondilitis dengan gangguan neurologis; dan penderita dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran perkemihan dan sebagainya.
Dimulai dengan fase 2 HRZS(E) obat diberikan setiap hari selama dua bulan. Bila selama dua bulan sputum menjadi negatif, maka dimulai fase lanjutan. Bila setelah dua bulan sputum masih tetap positif, maka fase intensif diperpanjang 2-4 minggu lagi (dalam program P2TB Depkes diberikan 1 bulan dan dikenal sebagai obat sisipan), kemudian diteruskan dengan fase lanjutan tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau belum. Fase lanjutannya adalah 4 HR atau 4 H3R3. Pada penderita meningitis, spondilitis dengan kelainan neurologis, fase lanjutan diberikan lebih lama, yaitu 6-7 bulan hingga total pengobatan 8-9 bulan. Sebagai panduan alternatif pada fase lanjutan adalah 6 HE.
2)    Kategori II
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum masih positif. Fase intensif dalam bentuk 2 HRZES-1 HRZE. Bila setelah fase intensif sputum menjadi negatif, baru diteruskan ke fase lanjutan. Bila setelah tiga bulan sputum masih positif, maka fase intensif diperpanjang 1 bulan lagi dengan HRZE (juga dikenal sebagai obat sisipan). Bila setelah empat bulan sputum masih tetap positif, maka pengobatan dihentikan 2-3hari. Kemudian, periksa biakan dan uji resistensi lalu pengobatan diteruskan dengan fase lanjutan.
Bila penderita mempunyai data resisten sebelumnya dan ternyata bakteri masih sensitif terhadap semua obat dan setelah fase intensif sputum menjadi negatif maka fase lanjutan dapat diubah seperti kategori I dengan pengawasan ketat. Bila data menunjukan resistensi terhadap H atau R, maka fase lanjutan harus diawasi dengan ketat. Tetapi jika data menunjukan tidak resistensi terhadap H dan R, maka kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil. Fase lanjutan adalah 5 H3R3E3 bila dapat dilakukan pengawasan atau 5 HRE bila tidak dapat dilakukan pengawasan.
3)    Kategori III
Adalah  kasus dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus Tuberkulosis diluar paru selain yang disebut dalam kategori I. Pengobatan yang diberikan:
    2HRZ/6 HE
    2HRZ/4 HR
    2HRZ/4 H3R3
4)    Kategori IV
Adalah Tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah karena kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil sekali. Untuk negara kurang mampu dari segi kesehatan masyarakat, dapat diberikan H saja seumur hidup. Untuk negara maju atau pengobatan secara individu (penderita mampu), dapat dicoba pemberian obat berdasarkan uji resistensi atau obat lapis kedua seperti Quinolon, Ethioamide, Sikloserin, Amikasin, Kanamisin, dan sebagainya (Arif Muttaqin, 2008: 80-82).

Tabel 2.1. Panduan Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Obat anti-Tb Esensial    Aksi    Potensi    Rekomendasi Dosis (mg/kgBB)
            Per Hari    Per Minggu
                3 x    2 x
Isoniazid (INH/H)
Rifampisin (R)
Pirazinamid (Z)
Streptomisin (S)
Etambutol (E)    Baterisidal
Baterisidal
Baterisidal
Bakterisidal
Bakteriostatik    Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah    5
10
25
15
15    10
10
35
15
30   
15
10
50
15
45


c.    Jenis dan dosis OAT.
1)    Isoniasid (INH/H)
Dosis: 5mg/KgBB, per oral.
Efek Samping: peripheral neuritis, hepatitis, dan hipersensitivitas.
2)    Rifampisin (R)
Dosis: 10 mg/KgBB/hari per oral.
Efek Samping: hepatitis, reaksi demam, purpura, nausea, dan vomiting.
3)    Parasinamid (Z)
Dosis; 15-30 mg/KgBB per oral.
Efek Samping hiper urisemia, hepatotoxicity, skin rash, artragia, distres gastrointestinal.
4)    Streptomisin (S)
Dosis; 15 mg/Kg BB. Panderita umur 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan diatas 60 tahun dosisnya 0,50 gr/hari.
5)    Etambutol (E)
Dengan dosis sebagai berikut.
a)     Dewasa: 15 mg/KgBB per oral, untuk pengobatan ulang mulai dengan 25 mg/KgBB//hari selama 60 hari, kemudian diturunkan sampai 15 mg/KgBB/hari.
b)     Anak (6-12 tahun): 10-15 mg/KgBB/hari.
Efek samping: Optik Neuritis (efek terburuk adalah kebutaan) dan skin rus. (Irman Soemantri, 2008: 71).




10.      Prognosis
Sebelum ditemukan anti tuberkulosis, penderita tuberkulosis paru mempunyai masa depan yang suram, seperti halnya penderita kanker paru pada saat ini. Tetapi sejak ditemukan obat anti tuberkulosis, apalagi rifampisin dan lain-lain, maka masa depan penderita tuberkulosis paru sangat cerah (Hood Alsagaff & H. Abdul Mukty, 2010: 107).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar