Jumat, 01 Juli 2011

FISIOTERAPI DADA

FISIOTERAPI DADA


A.     Pengertian

Fisioterapi adalah suatu cara atau bentuk pengobatan untuk mengembalikan fungsi suatu organ tubuh dengan memakai tenaga alam. Dalam fisioterapi tenaga alam yang dipakai antara lain listrik, sinar, air, panas, dingin, massage dan latihan yang mana penggunaannya disesuaikan dengan batas toleransi penderita sehingga didapatkan efek pengobatan.


Fisioterapi dada adalah salah satu dari pada fisioterapi yang sangat berguna bagi penderita penyakit respirasi baik yang bersifat akut maupun kronis. Fisioterapi dada ini walaupun caranya kelihatan tidak istimewa tetapi ini sangat efektif dalam upaya mengeluarkan sekret dan memperbaiki ventilasi pada pasien dengan fungsi paru yang terganggu. Jadi tujuan pokok fisioterapi pada penyakit paru adalah mengembalikan dan memelihara fungsi otot-otot pernafasan dan membantu membersihkan sekret dari bronkus dan untuk mencegah penumpukan sekret, memperbaiki pergerakan dan aliran sekret. Fisioterapi dada ini dapat digunakan untuk pengobatan dan pencegahan pada penyakit paru obstruktif menahun, penyakit pernafasan restriktif termasuk kelainan neuromuskuler dan penyakit paru restriktif karena kelainan parenkim paru seperti fibrosis dan pasien yang mendapat ventilasi mekanik. Fisioterapi dada ini meliputi rangkaian : postural drainage, perkusi, dan vibrasi.
Kontra indikasi fisioterapi dada ada yang bersifat mutlak seperti kegagalan jantung, status asmatikus, renjatan dan perdarahan masif, sedangkan kontra indikasi relatif seperti infeksi paru berat, patah tulang iga atau luka baru bekas operasi, tumor paru dengan kemungkinan adanya keganasan serta adanya kejang rangsangan.

B.     Postural drainase

Postural drainase (PD) merupakan salah satu intervensi untuk melepaskan sekresi dari berbagai segmen paru dengan menggunakan pengaruh gaya gravitasi.. Mengingat kelainan pada paru bisa terjadi pada berbagai lokasi maka PD dilakukan pada berbagai posisi disesuaikan dengan kelainan parunya. Waktu yang terbaik untuk melakukan PD yaitu sekitar 1 jam sebelum sarapan pagi dan sekitar 1 jam sebelumtidur pada malam hari.

PD dapat dilakukan untuk mencegah terkumpulnya sekret dalam saluran nafas tetapi juga mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak terjadi atelektasis. Pada penderita dengan produksi sputum yang banyak PD lebih efektif bila disertai dengan clapping dan vibrating.




Indikasi untuk Postural Drainase

1.      Profilaksis untuk mencegah penumpukan sekret yaitu pada :
a.       Pasien yang memakai ventilasi
b.      Pasien yang melakukan tirah baring yang lama
c.       Pasien yang produksi sputum meningkat seperti pada fibrosis kistik atau bronkiektasis
d.      Pasien dengan batuk yang tidak efektif .
2.      Mobilisasi sekret yang tertahan :
a.     Pasien dengan atelektasis yang disebabkan oleh sekret
b.    Pasien dengan abses paru
c.     Pasien dengan pneumonia
d.    Pasien pre dan post operatif
e.     Pasien neurologi dengan kelemahan umum dan gangguan menelan atau batuk


Kontra indikasi untuk postural drainase :

  1. Tension pneumotoraks
  2. Hemoptisis
  3. Gangguan sistem kardiovaskuler seperti hipotensi, hipertensi, infark miokard akutrd infark dan aritmia.
  4. Edema paru
  5. Efusi pleura yang luas


Fisiologi Organ Terkait

1.      Lobus Kanan Atas :
a.       Segmen apical
b.      segmen posterior
c.       Segmen anterior

2.      Lobus Kanan Tengah :
a.       Segmen lateral
b.      Segmen medial

3.      Lobus Kanan Bawah :
a.       segmen superior
b.      segmen basal anterior
c.       segmen basal lateral
d.      segmen basal posterior
e.       segmen basal medial



Peralatan :

  1. Bantal 2 atau 3 buah
  2. Papan pengatur posisi
  3. Tisu wajah
  4. Segelas air
  5. Sputum pot


Prosedur Kerja :

  1. Cuci tangan
  2. Pilih area yang tersumbat yang akan di drainage berdasarkan pengkajian semua area paru, data klinis, dan chast x-ray.
  3. Baringkan klien dalam posisi untuk mendrainage area yang tersumbat.
  4. Minta klien mempertahankan posisi tersebut selama 10-15 menit.
  5. Selama 10-15 menit drainage pada posisi tersebut, lakukan perkusi dan vibrasi dada diatas area yang di rainage.
  6. Setelah drainage pada posisi pertama, minta klien duduk dan batukbila tidak bisa batuk lakukan suction. Tampung sputm disputum pot.
  7. Minta klien istirahat sebentar bila perlu
  8. Anjurkan klien minum sedikit air.
  9. Ulangi lagkah 3-8 sampai semua area tersumbat terdrainage
  10. Ulangi pengkajian dada pada semua bidang paru.
  11. Cuci tangan
  12. Dokumentasikan.


Hal yang perlu diperhatikan

  1. Batuk dua atau tiga kali berurutan setelah setiap kali berganti posisi.
  2. Minum air hangat setiap hari sekitar 2 liter
  3. Jika harus menghirup bronkodilator, lakukanlah 15 menit sebelum drainage
  4. Lakukan laihan nafas dan latihan lain yang dapat membantu mengencerkan lendir.


C.     VIBRASI

Vibrasi merupakan getaran kuat secara serial yang dihasilkan oleh tangan perawat yang secara manual pada dinding dada klien dengan tujuan menggerakkan sekret ke jalan napas yang besar.

Prosedur kerja :
1.      Letakkan tangan, telapak tangan menghadap kebawah didaerah dada yang akan didrainage. Satu tangan diatas tangan yang lain dengan jari-jari menempel bersama dan ekstensi. Carayang lain tangan bisa     diletakan secara bersebelahan.
2.      Anjurkan klien menarik nafas dalam-dalam melaui hidung dan menghembuskan nafas secara perlahan lewat mulut atau pursed lips.
3.      Selama masa ekspirasi, tegangkan seluruh otot tangan dan lengan dan gunakan hampir semua tumit tangan. Getarkan tangan, gerakkan kearah bawah. Hentikan getaran jika klien melakukan insipirasi.
4.      Setelah tiap kali vibrasi, anjurkan klien untuk batuk dan keluarkan sekret kedalam tempat sputum.



D.    PERKUSI

Perkusi adalah tepukan dilakukan pada dinding dada atau punggung dengan tangan dibentuk seperti mangkok.


Indikasi

Perkusi secara rutin dilakukan pada pasien yang mendapat postural drainase, jadi semua indikasi postural drainase secara umum adalah indikasi perkusi.

Prosedur :

  1. Tutup area yang akan dilakukan perkusi dengan handuk atau pakaian untuk mengurangi ketidaknyamanan
  2. Anjurkan klien tarik napas dalam dan lambat, untuk meningkatkan relaksasi
  3. Perkusi pada tiap segman paru selama 1-2 menit
  4. Perkusi tidak boleh dilakukan pada daerah dengan struktur yang mudah terjadi cedera, seperti:mammae, sternum, dan ginjal.


Perkusi harus dilakukan hati-hati pada keadaan :

  1. Patah tulang rusuk
  2. Emfisema subkutan daerah leher dan dada
  3. Skin graf yang baru
  4. Luka bakar, infeksi kulit
  5. Emboli paru
  6. Pneumotoraks tension yang tidak diobati

















AIDS

APAKAH AIDS ?
Penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan tubuh.Virus penyebab AIDS adalah HIV (Human Immunodeficiency Virus)
Penderita AIDS yang meninggal, bukan semata-mata disebabkan oleh virus AIDS, tetapi juga oleh penyakit lain yang sebenarnya bisa ditolak, seandainya sistem kekebalan tubuh tidak rusak oleh virus AIDS.
BAGAIMANA AIDS MENULAR ?
75-85 % Penularan terjadi melalui hubungan seks (5-10 % diantaranya melalui hubungan homoseksual)
5-10 % akibat alat suntik yang tercemar (terutama pada pemakai narkotika suntik)
3-5 % melalui transfusi darah yang tercemar
90 % infeksi pada bayi dan anak terjadi dari Ibu yang mengidap HIV
25-35 % bayi yang dilahirkan oleh Ibu pengidap HIV akan menjadi pengidap HIV
GEJALA AIDS
Rasa lelah berkepanjangan
Sesak nafas dan batuk berkepanjangan
Berat badan turun secara menyolok
Pembesaran kelenjar (di leher, ketiak, lipatan paha) tanpa sebab yang jelas
Bercak merah kebiruan pada kulit (kanker kulit)
Sering demam (lebih dari 38 °C) disertai keringat malam tanpa sebab yang jelas
Diare lebih dari satu bulan tanpa sebab yang jelas
SIAPA KELOMPOK RESIKO TINGGI ?
Siapa saja yang memiliki perilaku seksual berganti-ganti pasangan
BAGAIMANA MENCEGAH AIDS
Tidak berganti-ganti pasangan seksual
Pencegahan kontak darah, misalnya pencegahan terhadap penggunaan jarum suntik yang diulang
Dengan formula A-B-C
ABSTINENSIA artinya tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah
BE FAITHFUL artinya jika sudah menikah hanya berhubungan seks dengan pasangannya saja
KONDOM artinya pencegahan dengan menggunakan kondom

AIDS Asal-Usul HIV/
Perdebatan seputar asal-usul AIDS telah sangat menarik perhatian dan sengketa sejak awal epidemi. Namun, bahaya mencoba mengenali dari mana AIDS berasal. Orang-orang dapat menggunakan nya sebagai bahan perdebatan untuk menyalahkan kelompok tertentu atau gayahidup.
Kasus AIDS pertama ditemukan di AS pada 1981, tetapi kasus tersebut hanya sedikit memberi informasi tentang sumber penyakit ini. Sekarang ada bukti jelas bahwa AIDS disebabkan oleh virus yang dikenal dengan HIV. Jadi untuk menemukan sumber AIDS kita perlu mencari asal-usul HIV.
Asal-usul HIV bukan hanya menyangkut masalah akademik, karena tidak hanya memahami dari mana asal virus tersebut tetapi juga bagaimana virus ini berkembang menjadi penting sekali untuk mengembangkan vaksin HIV dan pengobatan yang lebih efektif. Juga, pengetahuan tentang bagaimana epidemi AIDS timbul menjadi penting dalam menentukan bentuk epidemi di masa depan serta mengembangkan pendidikan dan program pencegahan yang efektif.
Tipe virus apakah HIV itu?
HIV adalah bagian dari keluarga atau kelompok virus yang disebut lentivirus. Lentivirus seperti HIV ditemukan dalam lingkup luas primata non-manusia. Lentivirus yang lain, diketahui secara kolektif sebagai virus monyet yang dikenal dengan SIV (simian immunodeficiency virus) di mana tulisan di bawah garis menunjukkan asal spesiesnya.
Jadi dari mana HIV berasal? Apakah HIV berasal dari SIV?
Sekarang secara umum diterima bahwa HIV merupakan keturunan dari SIV. Jenis SIV tertentu mirip dengan HIV-1 dan HIV-2, dua tipe HIV.
Sebagai contoh, HIV-2 dapat disamakan dengan SIV yang ditemukan pada monyet sooty
mangabey (SIVsm), kadang-kadang dikenal sebagai monyet hijau yang berasal dari Afrika barat.
Jenis HIV yang lebih mematikan, yaitu HIV-1, hingga akhir-akhir ini sangat sulit untuk digolongkan. Sampai 1999, yang paling mirip adalah SIV yang diketahui menginfeksi simpanse (SIVcpz), tetapi ada perbedaan yang berarti antara SIVcpz dan HIV.
Jadi apa yang terjadi pada 1999? Apakah sekarang simpanse diketahui sebagai asal HIV?
Pada Februari 1999 diumumkan bahwa kelompok peneliti dari University of Alabama, di AS, telah meneliti jaringan yang dibekukan dari seekor simpanse dan menemukan jenis virus (SIVcpz) yang nyaris sama dengan HIV-1. Simpanse ini berasal dari sub-kelompok simpanse yang disebut Pan troglodyte troglodyte, yang dahulu umum di Afrika tengah-barat.
Peneliti menegaskan bahwa ini menunjukkan simpanse adalah sumber HIV-1, dan virus ini pada suatu ketika menyeberang dari spesies simpanse ke manusia. Namun, belum jelas apakah simpanse merupakan sumber asli HIV-1 karena simpanse jarang terinfeksi SIVcpz. Oleh karena ada kemungkinan baik simpanse maupun manusia terinfeksi dari pihak ketiga, yaitu suatu spesies primata yang masih belum dikenali. Bagaimana pun keadaannya, sedikitnya perlu dua perpindahan terpisah ke manusia.
Bagaiamana HIV dapat menyeberangi spesies?
Telah lama diketahui bahwa virus tertentu dapat menyeberang dari hewan kepada manusia, dan proses ini dikenal dengan zoonosis.
Peneliti dari University of Alabama mengesankan bahwa HIV dapat menyeberang dari simpanse karena manusia membunuh simpanse dan memakan dagingnya.
Beberapa teori lain yang diperdebatkan berpendapat bahwa HIV berpindah secara iatrogenik (diakibatkan kealpaan pihak medis), misalnya melalui percobaan medis. Satu teori yang disebarluaskan secara baik adalah bahwa vaksin polio yang memainkan peranan dalam perpindahan ini, karena vaksin tersebut dibuat dengan menggunakan ginjal monyet.
Tetapi yang penting pada berbagai macam teori ini adalah pertanyaan tentang kapan perpindahan itu terjadi.
Apakah ada fakta kapan perpindahan itu terjadi?
Selama beberapa tahun terakhir memungkinkan bukan hanya menentukan apakah HIV ada di dalam darah, tetapi juga menentukan subtipe virus. Penelitian terhadap subtipe virus, dari infeksi HIV pada kasus-kasus awal dapat memberi petunjuk mengenai kapan HIV pertama kali menyerang manusia dan perkembangan berikutnya.
Tiga infeksi HIV yang paling awal adalah sebagai berikut:
Contoh plasma (cairan darah) yang diambil dari seorang pria dewasa yang hidup di Republik Demokratik Kongo tahun 1959.
HIV ditemukan pada contoh jaringan tubuh dari seorang pemuda Amerika-Afrika yang meninggal dunia di St. Louis, AS, tahun 1969.
HIV ditemukan pada contoh jaringan tubuh dari seorang pelaut Norwegia yang meninggal dunia sekitar tahun 1976.
Analisis yang dilakukan pada 1998 tentang contoh plasma dari 1959 mengesankan bahwa HIV-1 memasuki manusia sekitar 1940-an atau awal 1950-an, lebih awal daripada yang diperkirakan sebelumnya. Ilmuwan lain memperkirakan lebih lama lagi, mungkin sekitar 100 tahun yang lalu atau lebih.
Apakah diketahui di mana HIV pada manusia muncul?
Sekarang banyak orang menganggap karena HIV terlihat berkembang dari satu jenis SIV yang ditemukan pada tipe simpanse di Afrika Barat, ini berarti HIV pertama muncul pada manusia di sana. Kemudian dianggap bahwa HIV menyebar dari Afrika ke seluruh dunia.
Bagaimana pun, seperti yang dibahas di atas, belum tentu simpanse adalah sumber asli HIV dan ada kemungkinan virus ini menyeberang ke manusia, lebih dari satu kesempatan. Jadi mungkin juga HIV timbul pada waktu yang bersamaan baik di Amerika Selatan dan Afrika, atau bahkan muncul di benua Amerika sebelum muncul di Afrika.
Kita mungkin tidak akan pernah tahu secara pasti kapan dan di mana virus ini muncul pertama kali, tetapi yang jelas pada suatu waktu di pertengahan abad 20-an ini, infeksi HIV pada manusia berkembang menjadi epidemi penyakit di seluruh dunia yang saat ini lebih dikenal sebagai AIDS.
Apa yang menyebabkan epidemi ini menyebar secara tiba-tiba?
Ada beberapa faktor yang dapat mendukung penyebaran begitu mendadak termasuk perjalanan internasional, industri darah, dan penggunaan narkoba yang meluas.
Perjalanan Internasional
Peranan yang dimainkan oleh perjalanan internasional dalam penyebaran HIV disorot pada kasus yang sekarang dikenal sebagai ‘Patient Zero’ (pasien asli). Patient Zero adalah seorang pramugara pesawat terbang berkebangsaan Kanada dan bernama Gaetan Dugas yang sering mengadakan perjalanan ke seluruh dunia. Analisis terhadap beberapa kasus AIDS awal menunjukkan bahwa orang terinfeksi tersebut adalah orang yang berhubungan seksual baik langsung atau pun tidak langsung dengan pramugara ini. Kasus-kasus ini yang ditemukan di beberapa kota di AS ini menunjukkan peranan perjalanan internasional dalam penyebaran HIV. Ini juga mengesankan bahwa penyakit ini mungkin diakibatkan oleh satu zat penyebar.
Industri Darah
Sewaktu transfusi darah menjadi bagian yang rutin dari tindakan medis, industri darah untuk memenuhi permintaan darah juga meningkat. Di beberapa negara seperti AS, orang yang menyumbangkan darahnya dibayar, termasuk pengguna narkoba suntikan. Darah yang diperoleh kemudian dikirim ke seluruh dunia. Juga, pada akhir 1960-an penderita hemofilia mulai memanfaatkan pembeku darah yang disebut Factor VIII.
Untuk memproduksi zat pembeku itu, darah dari ribuan donor dikumpulkan yang meningkatkan kemungkinan produk ini tercemar HIV. Karena Factor VIII disebarkan ke seluruh dunia, ada kemungkinan banyak penderita hemofilia terpajan infeksi baru.
Penggunaan Narkoba
Pada 1970-an ditemukan peningkatan ketersediaan heroin seiring dengan perang Vietnam dan konflik lain di Timur-Tengah, yang mendorong pertumbuhan penggunaan narkoba suntikan. Peningkatan penyediaan beserta pengembangan alat semprit plastik sekali pakai dan pembangunan shooting gallery (tempat menyuntik narkoba) di mana orang dapat membeli obat terlarang dan menyewakan perlengkapan menjadi cara lain penyebaran virus.
Apa teori lain tentang asal-usul HIV?
Teori lain yang diajukan tentang asal-usul HIV termasuk banyaknya teori konspirasi. Beberapa orang mengesankan HIV dibuat oleh CIA, meskipun yang lain menganggap bahwa HIV direkayasa secara genetik.

FLU BABI ( SWINE FLU )

FLU BABI  ( SWINE FLU )
Apa itu flu babi?
Flu babi (swine flu) merupakan penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini sebenarnya jamak menyerang ternak babi, namun kini telah mengalami perubahan yang drastis dan mampu untuk menginfeksi manusia. Gejala yang timbul pada manusia pun mirip dengan apa yang terjadi pada babi.
Flu babi pertama kali diisolasi dari seekor babi yang terinfeksi pada tahun 1930 di Amerika Serikat. Pada perkembangannya, penyakit ini dapat berpindah ke manusia terutama menyerang mereka yang kontak dekat dengan babi. Lama tidak terdengar lagi kabarnya ternyata virus ini mengalami serangkaian mutasi sehingga muncul varian baru yang pertama kali menyerang manusia di Meksiko pada awal tahun 2009. Varian baru ini dikenal dengan nama virus H1N1 yang merupakan singkatan dari dua antigen utama virus yaitu hemagglutinin tipe 1 dan neuraminidase tipe 1.
Apa saja gejala flu babi?
Gejala utama flu babi mirip dengan gejala influenza pada umumnya seperti : demam, batuk, pilek, letih dan sakit kepala. Beberapa pasien dapat mengalami mual, muntah dan diare.
Penyakit ini dapat jatuh ke arah yang lebih buruk sehingga pasien mengalami kesulitan untuk bernafas dan memerlukan alat bantu nafas (ventilator). Bila ada bakteri yang ikut ikutan menginfeksi paru paru maka pasien dapat mengalami radang paru paru atau pneumonia. Beberapa diantaranya dapat mengalami gejala kejang kejang. Kematian umumnya terjadi karena adanya infeksi sekunder bakteri pada paru paru sehingga diperlukan antibiotika yang pas untuk mengatasi infeksi tersebut.
Bagaimana mendiagnosa flu babi?
Diagnosa flu babi ditegakan berdasarkan gejala klinis pasien dan riwayat kontak dengan mereka meraka yang memiliki gejala seperti diatas. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan lendir atau dahak yang berasal dari tenggorokan pasien. Pemeriksaan ini gunanya untuk membedakan apakah virus yang menginfeksi penderita tersebut termasuk virus tipe A atau B. Bila ternyata hasilnya adalah virus tipe B maka dapat dipastikan bahwa pasien tersebut bukan terinfeksi flu babi. Namun bila ternyata hasilnya adalah virus tipe A maka ada kemungkinan penderita tersebut menderita flu babi atau terinfeksi virus H1N1. Sampel ini selanjutnya dikirim ke laboratorium yang lebih lengkap untuk memastikan adanya antigen virus flu babi sehingga diagnosa flu babi dapat ditegakan dengan pasti.
Seberapa lama masa penularan virus flu babi?
Orang yang menderita flu babi A (H1N1) menurut para ahli akan tetap menularkan penyakitnya sampai hari ketujuh. Jika sampai hari ketujuh ternyata penyakitnya belum membaik maka dianggap orang tersebut masih dapat menularkan penyakitnya sampai gejala flu benar benar hilang. Anak anak khususnya balita memiliki potensi waktu penularan yang lebih panjang.
Periode penularan penyakit flu babi masih terggantung lagi pada jenis atau strain dari virus H1N1. Jika pasien di rawat di rumah maka dianjurkan untuk tidak keluar rumah dahulu sampai penyakit yang diderita benar benar sembuh kecuali yang bersangkutan segera ke dokter atau ke rumah sakit.
Bagaimana mengobati flu babi?
Meskipun telah lama ditemukan vaksin untuk mencegah penularan virus influenza, namun vaksin untuk virus flu babi (H1N1) sampai saat ini belum ada. Saat ini beberapa laboratorium pemerintah yang dibiayai oleh WHO sedang mengembangkan penelitian untuk menemukan vaksin virus flu babi.
Dua obat anti virus yang dipercaya mampu mencegah bertambah parahnya flu babi adalah zanamivir (Relenza) dan oseltamivir (Tamiflu). Penggunaan obat ini tidak boleh sembarangan karena ditakutkan akan terjadi resistensi virus terhadap kedua obat tersebut. Obat ini juga tidak direkomendasikan untuk gejala flu yang telah muncul lebih dari 48 jam. Pada keadaan yang berat, pasien mungkin membutuhkan penanganan intensif lebih lanjut di rumah sakit.
Bagaimana cara mencegah penularan flu babi?
Cara paling ampuh untuk mencegah penularan virus flu babi pada prinsipnya sama dengan cara mencegah penularan virus influenza yang lain yaitu vaksinasi. Sayangnya vaksin untuk flu babi sampai saat ini belum ditemukan.
Cara lain untuk mencegah penularan virus ini adalah dengan meminimalisir kontak dengan virus seperti mencuci tangan sesering mungkin, jangan menyentuh wajah anda terutama hidung dan mulut serta menghindari kontak dekat dengan orang yang sedang menderita flu.
Pencegahan penularan juga bisa dilakukan oleh mereka yang telah terinfeksi dengan cara : menghindari keramaian dan selalu tinggal di rumah. Jangan bekerja dan bersekolah dahulu sampai keadaan membaik. Hindari bersin, batuk dan berbicara terlalu dekat dengan orang lain.

HEMAPTOE

HEMAPTOE


A.     Pengertian

1.      Hemoptoe adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah atau sputum yang berdarah. Batuk darah adalah batuk yang disertai pengeluaran darah dari paru atau saluran pernapasan.
2.      Hemoptoe atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak mengandung darah, berasal dari saluran napas di bawah pita suara.

B.     Perbedaan hemoptoe dengan hematemesis

Untuk membedakan antara muntah darah (hematemesis) dan batuk darah (hemoptoe) bila dokter tidak hadir pada waktu pasien batuk darah, maka pada batuk darah (hemoptoe) akan didapatkan tanda-tanda sebagai berikut :
1.      Tanda-tanda batuk darah:
a.       Didahului batuk keras yang tidak tertahankan
b.      Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di dalam saluran napas
c.       Terasa asin / darah dan gatal di tenggorokan
d.      Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari kemudian warna menjadi lebih tua atau kehitaman
e.       pH alkalis
f.        Bisa berlangsung beberapa hari
g.       Penyebabnya : kelainan paru
2.      Tanda-tanda muntah darah :
a.       Tanpa batuk, tetapi keluar darah waktu muntah
b.      Suara napas tidak ada gangguan
c.       Didahului rasa mual / tidak enak di epigastrium
d.      Darah berwarna merah kehitaman, bergumpal-gumpal bercampur sisa makanan
e.       pH asam
f.        Frekuensi muntah darah tidak sekerap hemoptoe
g.       Penyebabnya : sirosis hati, gastritis

C.     Etiologi

Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas :
1.  Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh karena jamur dan sebagainya.
2.      Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta
3.      Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus
4.      Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
5.      Benda asing di saluran pernapasan
6.      Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.
Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah :
1.      Tumor :
a.       Karsinoma
b.      Adenoma
c.       Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal.
2.      Infeksi
a.       Aspergilloma
b.      Bronkhiektasis (terutama pada lobus atas)
c.       Tuberkulosis paru.
3.      Infark Paru
4.      Udem paru, terutama disebabkan oleh mitral stenosis
5.      Perdarahan paru
a.       Sistemic Lupus Eritematosus
b.      Goodpasture’s syndrome
c.       Idiopthic pulmonary haemosiderosis
d.      Bechet’s syndrome.
6.      Cedera pada dada/trauma
a.       Kontusio pulmonal
b.      Transbronkial biopsi
c.       Transtorakal biopsi memakai jarum.
7.      Kelainan pembuluh darah
a.       Malformasi arteriovena
b.      Hereditary haemorrhagic teleangiectasis.
8.      Bleeding diathesis.
Penyebab hemoptoe banyak, tapi secara sederhana dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu : infeksi, tumor dan kelainan kardiovaskular. Infeksi merupakan penyebab yang sering didapatkan antara lain : tuberkulosis, bronkiektasis dan abses paru. Pada dewasa muda, tuberkulosis paru, stenosis mitral, dan bronkiektasis merupakan penyebab yang sering didapat. Pada usia diatas 40 tahun karsinoma bronkus merupakan penyebab yang sering didapatkan, diikuti tuberkulsosis dan bronkiektasis.

D.    Patofisiologi

Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe.

Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1.      Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk darah.
2.      Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.
3.      Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti pada dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.
4.      Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada Goodpasture’s syndrome.
5.      Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif.
6.      Invasi tumor ganas
7.      Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.

E.     Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya dikenal berbagai macam batuk darah :
1.      Batuk darah idiopatik atau esensial dimana penyebabnya tidak diketahui
Angka kejadian batuk darah idiopatik sekitar 15% tergantung fasilitas penegakan diagnosis. Pria terdapat dua kali lebih banyak daripada wanita, berumur sekitar 30 tahun, biasanya perdarahan dapat berhenti sendiri sehingga prognosis baik. Teori perdarahan ini adalah sebagai berikut :
a.       Adanya ulserasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh bronkoskopi
b.      Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan
c.       Infark paru yang minimal
d.      Menstruasi vikariensis
e.       Hipertensi pulmonal.
2.      Batuk darah sekunder, yang penyebabnya dapat di pastikan.
Pada prinsipnya berasal dari :
a.       Saluran napas
Yang sering ialah tuberkulosis, bronkiektasis, tumor paru, pneumonia dan abses paru. Menurut Bannet, 82 – 86% batuk darah disebabkan oleh tuberkulosis paru, karsinoma paru dan bronkiektasis. Yang jarang dijumpai adalah penyakit jamur (aspergilosis), silikosis, penyakit oleh karena cacing.
b.      Sistem kardiovaskuler
Yang sering adalah stenosis mitral, hipertensi. Yang jarang adalah kegagalan jantung, infark paru, aneurisma aorta.
c.       Lain-lain
Disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah seperti hemofilia, hemosiderosis, sindrom Goodpasture, eritematosus lupus sistemik, diatesis hemoragik dan pengobatan dengan obat-obat antikoagulan.
Berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan maka hemoptisis dapat dibagi atas :
1.      Hemoptisis masif
Bila darah yang dikeluarkan adalah 100-160 cc dalam 24 jam.
2.      Kriteria yang digunakan di rumah sakit Persahabatan Jakarta :
a.       Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam
b.      Bila perdarahan kurang dari 600 cc dan lebih dari 250 cc / 24 jam, akan tetapi Hb kurang dari 10 g%
c.       Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam dan Hb kurang dari 10 g%, tetapi dalam pengamatan 48 jam ternyata darah tidak berhenti. (4)
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada hemoptoe selain terjadi vasokonstriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari depot darah, sehingga kadar Hb tidak selalu memberikan gambaran besarnya perdarahan yang terjadi. Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptoe juga mempunyai kelemahan oleh karena :
a.       Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan kadang-kadang dengan cairan lambung, sehinga sukar untuk menentukan jumlah darah yang hilang sesungguhnya
b.      Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan bersama-sama dengan tinja, sehingga tidak ikut terhitung
c.       Sebagian dari darah masuk ke paru-paru akibat aspirasi.
Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptoe ditentukan oleh :
a.       Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan hipovolemik (hypovolemik shock)
b.      Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat dinilai dengan adanya iskemik miokardium, baik berupa gangguan aritmia, gangguan mekanik pada jantung, maupun aliran darah serebral. Dalam hal kedua ini dilakukan pemantauan terhadap gas darah, disamping menentukan fungsi-fungsi vital. Oleh karena itu suatu tingkat kegawatan hemoptoe dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk akut berupa asfiksia, sedangkan bentuk yang lain berupa renjatan hipovolemik.
Bila terjadi hemoptoe, maka harus dilakukan penilaian terhadap:
a.       Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis
b.      Lamanya perdarahan
c.       Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi
d.      Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat kesadaran.
Klasifikasi menurut Pusel :
a.       + : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis dalam sputum
b.      ++ : batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml
c.       +++ : batuk dengan perdarahan 30 – 150 ml
d.      ++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml
Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang, positif empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif.

F.      Diagnosis

Hal utama yang penting adalah memastikan apakah darah benar- benar bukan dari muntahan dan tidak berlangsung saat perdarahan hidung. Hemoptisis sering mudah dilacak dari riwayat. Dapat ditemukan bahwa pada hematemesis darah berwarna kecoklatan atau kehitaman dan sifatnya asam. Darah dari epistaksis dapat tertelan kembali melalui faring dan terbatukkan yang disadari penderita serta adanya darah yang memancar dari hidung.
Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan urutan-urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga penanganannya dapat disesuaikan.
1.      Anamnesis
Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya diusahakan untuk mendapatkan data-data :
a.       Jumlah dan warna darah
b.      Lamanya perdarahan
c.       Batuknya produktif atau tidak
d.      Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
e.       Sakit dada, substernal atau pleuritik
f.        Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan batuk
g.       Wheezing
h.       Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu
i.         Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
j.        Perokok berat dan telah berlangsung lama
k.      Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
l.         Hematuria yang disertai dengan batuk darah
m.     Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat digunakan petunjuk sebagai berikut :
Keadaan
Hemoptoe
Hematemesis
1. Prodromal
Rasa tidak enak di tenggorokan, ingin batuk
Mual, stomach distress
2. Onset
Darah dibatukkan, dapat disertai batuk
Darah dimuntahkan dapat disertai batuk
3. Penampilan darah
Berbuih
Tidak berbuih
4. Warna
Merah segar
Merah tua
5. Isi
Lekosit, mikroorganisme, makrofag, hemosiderin
Sisa makanan
6. Reaksi
Alkalis (pH tinggi)
Asam (pH rendah)
7. Riwayat Penyakit Dahulu
Menderita kelainan paru
Gangguan lambung, kelainan hepar
8. Anemi
Kadang-kadang
Selalu
9. Tinja
Warna tinja normal
Guaiac test (-)
Tinja bisa berwarna hitam, Guaiac test (-)
2.      Pemeriksaan fisik
3.      Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat mendasari terjadinya batuk darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik dan opening snap, pembesaran kelenjar limfe, ulserasi septum nasalis, teleangiektasi.
4.      Pemeriksaan penunjang
Foto toraks dalam posisi AP dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderita hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat perdarahannya.
5.      Pemeriksaan bronkoskopi
Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan demikian sumber perdarahan dapat diketahui.
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :
a.       Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
b.      Batuk darah yang berulang-ulang
c.       Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis, lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu yang tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang masih kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan batuk yang lebih impulsif, sehingga dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptic dapat menilai bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan.
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari bekuan darah serta mengambil benda asing, disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon khusus di tempat terjadinya perdarahan.

G.    Penatalaksanaan

Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang masif.
Tujuan pokok terapi ialah :
1.      Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2.      Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3.      Menghentikan perdarahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport kardiopulmaner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif.
Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napas yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptoe paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan renjatan hipovolemik.
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
1.      Terapi konservatif
a.       Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral decubitus). Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat.
b.      Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
c.       Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran saluran napas untuk mencegah bahaya sufokasi.
d.      Dada dikompres dengan es – kap, hal ini biasanya menenangkan penderita.
e.       Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis), misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.
f.        Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
g.       Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi.
h.       Pemberian oksigen.
i.         Tindakan selanjutnya bila mungkin :
1)      Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
2)      Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber perdarahan.
2.      Terapi pembedahan
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan. Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan :
a.       Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b.      Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan operasi.
c.       Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe yang berulang dapat dicegah.
Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut :
a.       Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
b.      Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung.
c.       Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti.
Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru dan dipastikan asal perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari segmentektomi, lobektomi dan pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti.
Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan. Metode yang mungkin digunakan adalah :
a.       Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan bronkoskopi serat lentur dengan posisi pada lokasi bronkus yang berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis pada suhu 4°C sebanyak 50 cc, diberikan selama 30-60 detik. Cairan ini kemudian dihisap dengan suction.
b.      Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm penampang 8,5 mm.

H.    Komplikasi

Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptoe, yaitu ditentukan oleh tiga faktor :
1.      Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran pernapasan.
2.   Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptoe dapat menimbulkan renjatan hipovolemik.
3.      Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.

I.       Prognosis

Pada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami hemoptoe yang rekuren. Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang menentukan prognosis :
  1. Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang lebih baik.
  2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.
  3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.(1,14)

KESIMPULAN

1.      Hemoptoe merupakan salah satu gejala pada penyakit paru saluran pernapasan dan atau kardiovaskuler yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi.
2.   Pecahnya aneurisma dari Rasmmusen’s pada dinding kavitas paru disertai fibrosis perivaskuler merupakan penyebab utama hemoptoe yang masif.
3.      Sampai saat ini klasifikasi hemoptisis masih didasarkan pada penyebab dan banyaknya darah yang keluar bersama batuk.
4.      Sebagian besar hemoptisis sekunder disebabkan oleh tuberkulosis paru, karsinoma dan bronkiektasis. Bila ditemukan pada usia relatif muda harus dipikirkan pertama – tama tuberkulosis paru, lalu bronkiektasis, kemudian stenosis mitral. Sedangkan hemoptoe pada usia lebih dari 40 tahun kemungkinan urutannya adalah karsinoma bronkogenik, lalu tuberkulosis, kemudian bronkiektasis.
5.      Bronkoskopi pada saat ini merupakan cara pembantu diagnosis dan tindakan terapeutik yang penting pada hemoptisis masif dan harus dikerjakan pada waktu perdarahan masih berlangsung.
6.      Komplikasi yang paling sering terjadi dari hemoptisis adalah terjadinya asfiksia, renjatan hipovolemik dan bahaya aspirasi.
7.      Pada prinsipnya penanganan hemoptoe ditujukan untuk memperbaiki kondisi kardiopulmoner dan mencegah semua keadaan yang dapat menyebabkan kematian. Penanganan tersebut dilakukan secara konservatif maupun dengan operasi, tergantung indikasi serta berat ringannya hemoptisis yang terjadi.
8.      Prognosis dari hemoptoe ditentukan oleh tingkatan hemoptoe, macam penyakit dasar dan cepatnya tindakan yang dilakukan.




DAFTAR PUSTAKA

1.      American Thoracic society. The Management of hemoptysis. A Statement by the   committee on Therapy, Am rev Respir Dis. 1996. (93) : 471 – 474
2.      Amirana, et al. An Aggressive Surgical approach to Significant hemoptysis in Patients with Pulmonary Tuberculosis Am Rev Respir Dis. 1968. (97) : 187 – 192
3.      Soeroso HL. Susilo H. Parhussip RS. Sumari. Usman. Hemoptisis Masif. Cermin Dunia Kedokteran. 1992. (80) : 90 – 94
4.      Rab T. Prinsip Gawat Paru. ed.2. EGC. Jakarta. 1996. p. 185 – 201
5.      Moxham. Symptoms And Sign in Respiratory Disease. Medicine Internat. Par East Ed. 1991. 4(14) : 3644 – 3649
6.      Yusuf I. Manifestasi Klinis Penyakit Paru. dalam Ilmu Penyakit Dalam. Soeparman. Waspadji, editor. BP-FKUI Jakarta. 1987. p. 688
7.      Purwandianto A. Sampurna B. Kedaruratan Medik. ed. 3. Bina Rupa Aksara. Jakarta. p.19 – 20
8.      Crofton SJ. Douglas A. Respiratory Diseasses. 3rd ed. Balckwell Scientific Publications. Oxford. 1983. P.770 – 771
9.      Woodley M. Whelan A. Pedoman Pengobatan. (Manual of Medical Therapeutics). Andi offset. Yogyakarta. 1995. p. 326 – 327
10.  Price SA.Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit (Pathophysiology Clinical Consepts of Diseases Processes) alih bahasa Adji Dharma. EGC. Jakarta. 1984. p. 531.
11.  Alsagaff H. Rai IB. Alrasyid SH. Penanggulangan Batuk Darah dalam Simposium Ilmu Kedokteran Darurat. FK – Unair. Surabaya. 1979. p.162 – 164
12.  Buja LM, et al. Pulmonary Alveolar Hemorrhage : A common finding in patiens with severe cardiac disease. Am J Cardiol, 1971. 27 : 168 – 172
13.  Roger SM. Signs and Symptoms. Hemoptysis. 4th ed. JB Lippin- cott Company. Philadelphia. 1964. Pp. 320 – 323
14.  Sluiter HJ, Leerboek Long Ziekten. Van Gorkom, Assen/Maastricht. 1985