Senin, 30 Desember 2013

treatmen OAT




1.   Mycobacterium Tuberculosis
a.    Bakteriologi
Penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini adalah sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mm dan tebal 03-0,6 mm. Kuman ini tahan terhadap asam dikarenakan kandungan asam lemak (lipid) di dindingnya. Kuman ini dapat hidup pada udara kering maupun dingin. Hal ini karena kuman berada dalam sifat dormant yang suatu saat kuman dapat bangkit kembali dan aktif kembali.
Kuman ini hidup sebagai parasit intraseluter didalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan predileksi penyakit tuberkulosis.
b.   Patogenesis
·    Tuberkulosis Primer
Penularan terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersihkan keluar menjadi droplet nudei dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung dari ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap, kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi terhisap oleh oang sehat, ia akan menempel pada jalan napas atau paru-paru. Kuman dapat masuk lewat luka pada kulit atau mukosa tapi hal ini sangat jarang terjadi.
Kuman yang menetap di jaringan paru, ia tumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa ke organ tubuh lain. Kuman yang bersarang tadi akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju illus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hillus (limfadenitis regional). Sarang primer + limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
1)    Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat
2)    Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas, berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hillus atau kompleks (sarang) Ghon
3)    Berkomplikasi dan menyebar secara:
-     Per kontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya
-     Secara bronkogen pada paru ysng bersangkutan maupun paru yang di sebelahnya. Dapat juga kuman tertelan bersama tertelan besama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus
-     Secara limfogen, ke organ tubuh lainnya
-     Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya
Semua kejadian diatas tergolong ke dalam perjalanan tuberklosis primer.

·    Tuberkulosis Post-Primer
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (Post-Primer). Tuberkulosis Post-Primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru-paru (bagian apikal posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiller paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan bermacam-macam jaringan ikat.
Bergantung dari imunitas penderita, virulensi, jumlah kuman, sarang dapat menjadi :
1)    Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut
2)    Sarang yang mula-mula meluas, tapi segera menyembuh dan menimbulkan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi lebih keras, menimbulkan perkapuran dan akan sembuh delam bentuk perkapuran.
3)    Sarang dini yang meluas dimana granuloma berkembang menghancurkan jaringan sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, dan menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik.
Kavitas dapat :
-     Melus kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Sarang ini selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu.
-     Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi.
-     Bersih dan menyembuh, disebut open heated cavity. Dapat juga menyembuh dengan membungkus diri dan menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut stellate shaped.
Pada penvakit TBC paru, efusi pleura diduga disebabkan oleh rupturnya fokus subpleural dari jarngan nerotik perkijuan sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbulkan reaksi hipersensitif tipe lambat. Hal ini didukung dengan ditemukannya limfossit T, Interleukin-2 dan Interleukin reseptor pada cairan pleura.
Cara penyebaran lainnya diduga secara hematogen dan secara perkontinuitatum dari kelenjar-kelenjar getah bening servikal,  rnediastinal, dan dari abses di vertebrae.
Efusi pleura yang disebabkan oleh TBC dapat juga berupa empyema, yaitu buila terjadi infeksi sekunder karena adanya fitula bronchopulmonal, atau berupa chylothoraxs yaitu bila terdapat penekanan kelenjar atau tarikan fibrin pada duktus thoracicus. Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraxs kiri, jarang yang masif. Pada thoraxosentesis ditemukan cairan berwarna kuning jernih, mengandung > 3 gr protein/ 100 ml, bila cairan berupa darah, serosanguineous atau merah muda diagnosis TBC harus diragukan.

c.    Gejala-gejala Tuberculosis
·    Batuk berdahak dengan sputum produktif warna kuning kehijauan, terus-menerus selama  3 minggu atau lebih
·    Gejala umum: nafsu makan turun, penurunan berat badan secara drastis, malaise, berkeringat malam tanpa aktifitas, demam subfebris hilang timbul dan tidak terlalu tinggi.
·    Bisa muncul gejala TBC ekstra paru: pembesaran kelenjar, gibus, osteomielitis, meningitis.
d.   Diagnosis Tuberculosis pada orang dewasa
Dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.
·      Kalau hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosa sebagai penderita TBC BTA positif.
·      Kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya Kontrimoksazol atau Amoksisillin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TBC, ulangi pemeriksaan dahak SPS.
·      Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TBC BTA positif.
·      Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TBC.
·      Bila hasil rontgen mendukung TBC, didiagnosis sebagai penderita TBC BTA negatif, Rontgen positif.
·      Bila hasil rontgen tidak mendukung TBC, penderita tersebut bukan TBC.

e.    Pemeriksaan Fisik
·    Tanda-tanda infiltrat : redup, bronkial
·    Dahak di saluran napas : ronki basah, ronki kering
·    Penyempitan : wheezing, penarikan, pendorongan, kaviitas, atelektase
·    
·    Tanda-tanda kelainan ekstra paru seperti scrofuloderma, gibus, osteomiditis, meningitis dan lain-lain.

f.    Komplikasi TBC
·      Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat menglakibatkan kematian karena syok hemoragik atau tersumbatnya jalan nafas (sufokasi)
·      Kolaps dini lobus akibat retraksi broakial
·      Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
·      Pneumothorax (adanya udara didalam ronaga pleura) spontan kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
·      Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.
·      Insufislensi Kardiopulmoner (Cardiopulmonary Insuficiency).
·      Efusi pleura, pnemotoraks dan schwarte

g.    Tujuan Pengobatan
·    Menyembuhkan penderita
·    Mencegah kematian
·    Mencegah kekambuhan
·    Menurunkan tingkat penularan

h.   Prinsip Pengobatan
·    Kombinasi beberapa jenis dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman dapat dibunuh.
·    Dosis tahap intensif dan tahap lanjutan ditelan sebagau dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apablia panduan obat ayang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman akan berkembang menjadi resisten.
·    Pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat. (DOTS = Directly Observed Treatment Short Course) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

i.     Cara Pengobatan TBC
Pengobatan diberikai dalam 2 tahap, yaitu :
·      Intensif
Obat yang diberikan setiap hari. Bila diberikan secara tepat biasanya penderita yang menular menjadi tidak menular dalam jangka waktu 2 minggu. Sebagian penderita dengan BTA (+) menjadi (-) pada akhir pengobatan tahap intensif
·      Lanjutan
Jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu lebih lama.

j.     Jenis dan Dosis OAT
·      Isoniazid/INH (H)
Bakterisid. Efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif.
Dosis harian = 5 mg/kgBB
Dosis intermitten 3 kali seminggu 10 mg/kgBB
·      Rimfampisin (R)
Bakterisida, membunuh kuman semi dormant yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid. Dosis harian maupun dosis intermitten 3 kali seminggu = 10 mg/kgBB
·      Pirazinamid (Z)
Bakterisida, membunuh kuman di dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian = 25 mg/kgBB, dosis intermitten 3 kali seminngu 35 mg/kgBB
·      Etambutol (E)
Bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB
Dosis intermiten 3 kali seminggu = 30 mg/kgBB
·      Streptomisin (S)
Bakterisida. Dosis harian ataupun dosis intermitten 3 kali seminggu = 15 mg/kgBB. Penderita berumur sampai 60 tahun, dosisnya 0,75 mg/kgBB. Penderita berumur > 60 tahun dosisnya 0,5 mg/kgBB.

k.   Panduan OAT di Indonesia
Kategori I :  2R7H7E7Z7/4H3R3
Tahap Intensif : 2 bulan: Isomazid                    1 x 300 mg setiap hari
                                         Rifampsin           1 x 450 mg setiap hari
                                                       Pirazinamid            3 x 500 mg setiap hari
                                                       Ethambutol            3 x 250 mg setiap hari
Tahap lanjutan : 4 bulan: Isoniazid                        2 x 300 mg 3 x seminggu
       Rifampisin            1 x 450 mg.3 x seminggu
Diberikan untuk :
·      Penderita baru TBC paru BTA (+)
·      Penderita TBC paru BTA (-) Rontgen (+) yang sakit berat
·      Penderita TBC ekstra paru berat

Kategori II : 2R7117E7Z7S7/IR7H7E7Z7/5R3H3E3
Tahap intensif : 2 bulan: Isoniazid                     1 x 300 mg setiap hari
      Rifampisin             1 x 450 mg setiap hari
      Pirazinamid             3 x 500 mg setiap hari
      Ethambutol             3 x 250 mg setiap hari
      Streptomisin Inj.             0,75 gr setiap hari
    1 bulan  Isonlazid                        1 x 300 mg setiap hari
                  Rifampisin                        1 x 450 mg setiap hari
                                                      Pirazinamid            3 x 500 mg setiap hari
                                                      Ethambutol            3 x 250 mg setiap hari
Tahap lanjutan: 5 bulan: Isoniazid                        2 x 300 mg 3 x seminggu
      Rifampisin                        1 x 450 mg 3 x seminggu
      Ethambutol             3 x 250 mg 3 x seminggu
Diberikan untuk :
·      Penderita kambuh
·      Penderita gagal
·      Penderita dengan pengobatan setelah lalai

Kategori III: 2R7H7Z7/4R3H3
Tahap intensif: 2 bulan:  Isoniazid                     1 x 300 mg setiap hari
      Rifampisin                        1 x 450 mg setiap hari
      Pirazinamid            3 x 500 mg setiap hari
Tahap lanjutan: 4 bulan: Isoniazid                        2 x 300 mg 3 x seminggu
      Rifampisin             1 x 450 mg 3 x seminggu
Diberikan untuk :
·      BTA (-) dan Rontgen (+) sakit ringan
·      Penderita TBC ekstra ringan, yaitu TBC kelenjar limfe, pleuritis exudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang). sendi dan kelenjar adrenal.

Obat Sisipan (HRZE)
Bila pada akhirnya tahap intensif pengobatan penderita baru BTA dengan kategori I atau BTA pengobatan ulang dengan kategori II, hasil dahak masih BTA (+), berikan obat sisipan (RHEX) setiap hari selama 1 bulan.

Sabtu, 02 Maret 2013

LP HEMAPTOE



HEMAPTOE

 

A.      Definisi


Hemoptoe adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah atau s
Batuk darah adalah batuk yang disertai pengeluaran darah dari paru atau saluran pernapasan.
Hemoptoe atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak mengandung darah, berasal dari saluran napas di bawah pita suara

B.       Perbedaan hemoptoe (batuk darah) dengan hematomesis (muntah darah)

KEADAAN
HEMAPTOE
HEMATOMESIS
Prodromal
Rasa tidak enak di tenggorokan, ingin batuk
Mual, stomach distress
Onset
Darah dibatukkan,
Darah dimuntahkan
Penampilan darah
Berbuih, bisa bergumpal-gumpal
Tidak berbuih
Warna
Merah segar
Merah kecoklatan/kehitaman
Isi
Lekosit, mikroorganisme, makrofag, hemosiderin
Sisa makanan
Reaksi
Alkalis (pH tinggi)
Asam (pH rendah)
Riwayat Penyakit  Dahulu
Menderita kelainan paru (TB Paru, bronkiektasis dan abses paru)
Gangguan lambung (gastitis kronis, ulkus peptikum), kelainan hepar, perdarahan usus
Anemi
Kadang-kadang
Selalu
Tinja
Warna feces normal
Warna feces kehitam

C.      Etiologi

Penyebab hemoptoe banyak, tapi secara sederhana dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu : infeksi, tumor dan kelainan kardiovaskular.
Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas :
1. Infeksi (tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh karena jamur dan sebagainya.)
2.    Kardiovaskuler (stenosis mitralis dan aneurisma aorta.)
3.    Neoplasma (karsinoma bronkogenik,poliposis bronkus, metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal.)
4.    Perdarahan paru (Sistemic Lupus Eritematosus, Goodpasture’s syndrome, Idiopthic pulmonary haemosiderosis, Bechet’s syndrome.)
5.    Benda asing di saluran pernapasan.
6.    Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.
7. Cedera pada dada/trauma (Kontusio pulmonal, transtorakal biopsi memakai jarum.)
8. Kelainan pembuluh darah (Malformasi arteriovena, Hereditary haemorrhagic teleangiectasis.)

D.      Patofisiologi

Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis.Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan aneurisma Rasmussen. Pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh darah bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal ini dapat menimbulkan hemoptisis masif. Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe.

E.       Klasifikasi

Berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan maka hemoptisis dapat dibagi atas :
1. Hemoptisis
Bila darah yang dikeluarkan adalah 100-160 cc dalam 24 jam.
2. Hemaptoe massif
  • Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam
  • Bila perdarahan kurang dari 600 cc dan lebih dari 250 cc / 24 jam, akan tetapi Hb kurang dari 10 g%.
  • Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam dan Hb kurang dari 10 g%, tetapi dalam pengamatan 48 jam ternyata darah tidak berhenti.
Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptoe ditentukan oleh :
  • Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan hipovolemik (hypovolemik shock).
  • Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat dinilai dengan adanya iskemik miokardium, baik berupa gangguan aritmia, gangguan mekanik pada jantung, maupun aliran darah serebral. Dalam hal kedua ini dilakukan pemantauan terhadap gas darah, disamping menentukan fungsi-fungsi vital. Oleh karena itu suatu tingkat kegawatan hemoptoe dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk akut berupa asfiksia, sedangkan bentuk yang lain berupa renjatan hipovolemik.
Bila terjadi hemaptoe, maka harus dilakukan penilaian terhadap:
  • Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis.
  • Lamanya perdarahan.
  • Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi.
  • Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat kesadaran.
Klasifikasi menurut Pusel  :
  •      + :         batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis dalam sputum
  •    ++ :     batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml
  • +++ :   batuk dengan perdarahan 30 – 150 ml
  • ++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml
Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang, positif empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif.

F.       Diagnosis

Hal utama yang penting adalah memastikan apakah darah benar-benar bukan dari muntahan dan tidak berlangsung saat perdarahan hidung. Hemoptisis sering mudah dilacak dari riwayat. Dapat ditemukan bahwa pada hematemesis darah berwarna kecoklatan atau kehitaman dan sifatnya asam. Darah dari epistaksis dapat tertelan kembali melalui faring dan terbatukkan yang disadari penderita serta adanya darah yang memancar dari hidung.
Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan urutan-urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga penanganannya dapat disesuaikan.
1. Anamnesis
Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya diusahakan untuk mendapatkan data-data :
a.    Jumlah dan warna darah
b.    Lamanya perdarahan
c.    Batuknya produktif atau tidak
d.   Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
e.    Sakit dada, substernal atau pleuritik
f.     Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan batuk
g.    Wheezing
h.    Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu.
i.      Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
j.      Perokok berat dan telah berlangsung lama
k.    Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
l.      Hematuria yang disertai dengan batuk darah.

2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat mendasari terjadinya batuk darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik dan opening snap, pembesaran kelenjar limfe, ulserasi septum nasalis, teleangiektasi.
3. Pemeriksaan penunjang
Foto toraks dalam posisi AP-Lat : Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat perdarahannya.
4. Pemeriksaan bronkoskopi
Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan demikian sumber perdarahan dapat diketahui.
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :
a.    Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
b.    Batuk darah yang berulang – ulang
c.    Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis, lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu yang tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang masih kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan batuk yang lebih impulsif, sehingga dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptic dapat menilai bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan.
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal/rigid sangat bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari bekuan darah serta mengambil benda asing, disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon khusus di tempat terjadinya perdarahan.

G.      Penatalaksanaan

Pada umumnya hemoptisis ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemaptoe masif.
Tujuan pokok terapi ialah :
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan 
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport kardiopulmaner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif.
Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napas yang menyebabkan obstruksi jalan napas. Bila terjadi obstruksi jalan napas, akan menyebabkan kegagalan organ yang multipel dan kematian dalam waktu singkat. Meskipun hemaptoe dalam jumlah darah yang sedikit tetapi dengan refleks batuk yang buruk pun juga dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan renjatan hipovolemik.
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
1. Terapi konservatif
Cek dan observasi jalan napas, pastikan tidak ada sumbatan jalan napas, rasakan aliran udara pada lubang hidung atau lihat turun naik dada, bila pasien kesulitan/tidak bernapas segera lakukan suction 
a.    Tenangkan pasien. Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring ( Trendelendburg/lateral decubitus). Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat.
b.    Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.(bila kemampuan batuk menurun/pasien tidak sadar)
c.    Batuk secara perlahan-lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran saluran napas untuk mencegah bahaya sufokasi.
d.   Dada dikompres dengan es-kap, hal ini biasanya menenangkan penderita.
e. Posisi tidur telentang tanpa bantal dengan bagian kaki ditinggikan disaat tidak batuk, bedrest total, batasi aktifitas selama hemaptoe.
f.   Pemberian obat–obat penghenti perdarahan (obat–obat hemostasis), misalnya Adona, Kalnex, Asam Traxenamat, (dLL sesuai advis dokter)
g.     Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
h.    Pemberian cairan atau transfusi darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi.(Hb < 10 gr%)
i.    Pemberian oksigen bila disertai keluhan sesak napas

Tindakan selanjutnya bila mungkin  :
a.    Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
b. Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber perdarahan.
2. Terapi pembedahan
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan :
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe yang berulang dapat dicegah.

Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru dan dipastikan asal perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari segmentektomi, lobektomi dan pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti.
Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan. Metode yang mungkin digunakan adalah  :
a.    Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan bronkoskopi serat lentur dengan posisi pada lokasi bronkus yang berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis pada suhu 4°C sebanyak 50 cc, diberikan selama 30-60 detik. Cairan ini kemudian dihisap dengan suction.
b.    Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm penampang 8,5 mm.

H.         Prognosis

Pada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami hemoptoe yang rekuren, sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa faktor :
1.    Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang lebih baik.
2.    Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.
3.   Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.
4. Bila terjadi obstruksi jalan napas oleh bekuan darah, apabila tidak segera ditangani, akan menyebabkan kematian dalam waktu 5-8 menit.

J.        Asuhan Keperawatan

Anamnesa / keluhan utama :
Pasien mengeluh batuk berdarah, dada terasa perih

TTV : 
TD, RR, N, T .......kesadaran CM, GCS 456 , BB 40 Kg

Inspeksi :
Tampak batuk berdarah, merah segar, ± 600 cc, bergumpal-gumpal, KU lemah
Palpasi :
Taktil fremitus : getaran teraba simetris
Perkusi :
Sonor simetris
Auskultasi :
Vesikuler menurun di paru kanan
Foto thorax :
Gambaran infiltrat dikedua paru
Lab :
HB 10 gr%

Analisa Data

DATA
ETIOLOGI
PROBLEM

DS :
Pasien mengeluh batuk berdarah dan dada terasa perih
DO :
TTV :
TD..., RR..., N..., T ...,  kesadaran CM, GCS 456
Inspeksi :
Tampak batuk berdarah, merah segar, ± 600 cc, bergumpal-gumpal, KU lemah
Auskultasi :
Vesikuler menurun di paru kanan
Foto thorax :
Gambaran infiltrat dikedua paru

Batuk darah massif

Risti terjadinya obstruksi jalan napas

Rencana Interensi

Risti terjadinya obstruksi jalan napas B/D batuk darah massif, ditandai dengan :
DS :
Pasien mengeluh batuk berdarah dan dada terasa perih
DO :
TTV :
TD..., RR..., N..., T ...,  kesadaran CM, GCS 456
Inspeksi :
Tampak batuk berdarah, merah segar, ± 600 cc, bergumpal-gumpal, KU lemah
Auskultasi :
Vesikuler menurun di paru kanan
Foto thorax :
Gambaran infiltrat dikedua paru

Tujuan :
Dalam waktu ..x 24 jam setelah dilakukan tindakan keperawatan risti obstruksi jalan napas tidak terjadi
Kreteria Hasil :
Pasien tidak mengeluh batuk berdarah
Tidak ada tanda-tanda terjadinya obstuksi jalan napas
Tidak terjadi syok hemorragis
TTV dalam batas normal, kesadaran CM, GCS 456
Auskultasi : vesikuler simetris
Lab : HB > 10 gr%

Intervensi       :
1.      Tenangkan pasien
2.      Awasi adanya tanda-tanda obstruksi jalan napas,
3.      Kaji status pernapasan dan kemampuan batuk
4.      Ukur TTV & observasi tingkat kesadaran
5.      Observasi terjadinya tanda-tanda shok hemorragis
6.      Atur posisi trendelenberg miring kesisi paru yang sakit
7.      Jelaskan penyebab batuk darah
8.      Anjurkan bedrest total di tempat tidur
9.      Lakukan kompres es
10.  Bersihkan darah dari mulut, k/p ganti baju dan sepray
11.  Kolaborasi medis :
·      Pemberian cairan parenteral
·      Pemberian obat antikoagulan
·      Pemberian obat untuk menekan batuk


Implementasi :

1.      Menenangkan pasien
2.      Mengawasi adanya tanda-tanda obstruksi jalan napas/apnea (tidak ada pergerakan dada, tidak ada hembusan udara pada hidung),  bila terjadi apnea segera lakukan suction untuk mengeluarkan bekuan darah yang menyumbat jalan napas
3.      Mengkaji status pernapasan dan kemampuan batuk
4.      Mengukur TTV & mengobservasi tingkat kesadaran
5.      Mengobservasi terjadinya tanda-tanda shok hemorragis : ( perubahan TTV, akral dingin, pucat, gelisah, disorientasi, penurunan tingkat kesadaran )
6.      Mengatur posisi : trendelendberg miring kesisi kanan ketika batuk berdarah
7.      Menjelaskan penyebab batuk darah
8.      Menganjurkan bedrest total di tempat tidur dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal dan bagian kaki ditinggikan saat tidak batuk berdarah, posisikan trendelenberl lagi bila batuk darah berulang
9.      Melakukankan kompres es di daerah dada
10.  Membersihkan darah dari mulut, k/p ganti baju dan sepray
11.  Kolaborasi medis :
·      Memberikan cairan parenteral : IVFD RL drip Adona 1 amp/kolp 20 tpm
·      Memberikan obat antikoagulan : Kalnex/Asam Traxenamat 1 amp iv
·      Memberikan obat untuk menekan batuk : Codein tab 10-20 mg oral

Evaluasi/catatan perkembangan

S :
Pasien mengatakan masih mengeluh batuk darah tapi darah yang keluar tidak sebanyak kemarin, rasa perih didada sudah berkurang

O :
Pasien terlihat lebih tenang, tidak tampak sesak napas
Tampak masih mengeluarkan bercak/bekuan darah ketika batuk
TTV : TD..., RR..., N..., T...saturasi O2....
Kesadaran CM, GCS 456
Tidak ada tanda-tanda obstruksi jalan napas atau kesulitan bernapas  

A :
Masalah risti obstruksi jalan napas teratasi sebagian

P :
Lanjutkan intervensi NO : 3, 5, 7, 8, 9, 11
  • Awasi kemungkinan terjadi batuk darah kembali
  • Lab : cek Hb, sputum BTA SPS
  • Rad : foto thorak ulang
  • Pemberian transfusi darah