Kamis, 30 Juni 2011

PERAWATAN PASKA STROKE DIRUMAH

PERAWATAN PASKA STROKE DIRUMAH


  1. Pengertian stroke

Stroke (Penyakit Serebrovaskuler) adalah kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. 
Stroke dibagi dalam:
1.      Stroke Iskemik
Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah
2.      Stroke Hemoragik
Pada stroke hemoragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya.

  1. Penyebab

Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur arteri yang menuju ke otak. Misalnya suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat serius karena setiap arteri karotis dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian besar otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam darah, kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil

  1. Tanda dan gejala stroke

Sebagian besar kasus terjadi secara mendadak, sangat cepat dan menyebabkan kerusakan otak dalam beberapa menit (completed stroke). 
Stroke bisa menjadi bertambah buruk dalam beberapa jam sampai 1-2 hari akibat bertambah luasnya jaringan otak yang mati (stroke in evolution). 
Perkembangan penyakit bisasanya (tetapi tidak selalu) diselingi dengan periode stabil, dimana perluasan jaringan yang mati berhenti sementara atau tejadi beberapa perbaikan. 
Gejala yang terjadi tergantung kepada daerah otak yang terkena:
1.      Hilangnya rasa atau adanya sensasi abnormal pada lengan atau tungkai atau salah  satu sisi tubuh
2.      Kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh
3.      Hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran
4.      Penglihatan ganda 
5.      Pusing 
6.      Bicara tidak jelas (rero) 
7.      Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat 
8.      Tidak mampu mengenali bagian dari tubuh 
9.      Pergerakan yang tidak biasa 
10.  Hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih 
11.  Ketidakseimbangan dan terjatuh 
12.  Pingsan. 

  1. Perawatan Pasien Stroke

1.      Merawat Pasien Stroke
Sebelum meninggalkan rumah sakit atau fasilitas rehabilitasi lain, pasien dan orang yang merawat perlu menyadari semua tantangan dan tanggung jawab yang akan dihadapi. Meskipun sebagian besar pasien telah mengalami pemulihan yang cukup bermakna sebelum di pulangkan, sebagian masih memerlukan bantuan untuk turun dari tempat tidur, mengenakan pakaian, makan, dan berjalan.

Perlu dipastikan bahwa Anda mengetahui tentang layanan komunitas lokal yang dapat memberikan bantuan, termasuk dokter keluarga, perawat kunjungan rumah, ahli fisioterapi, petugas sosial, ahli terapi wicara, dan layanan relawan. Anda dapat membuat sebuah catatan harian sederhana yang mencakup rincian obat pasien dan waktu-waktu perjanjian bertemu dengan berbagai dokter atau profesional kesehatan lain. Sebaiknya kemajuan pasien dicatat setiap hari atau setiap Minggu.
Berdasarkan statistik, pasien stroke yang bertahan hidup kemungkinan besar akan dirawat di rumah:
a.       Secara rata-rata, hingga 80 % pasien stroke kembali ke rumah dalam enam bulan.
b.      Sekitar 15% pasien, yang bertahan hidup melewati Minggu-minggu pertama setelah stroke, akhirnya akan dipindahkan ke unit rehabilitasi, di mana durasi menginap adalah sekitar 3 – 4 minggu.
c.       Sekitar separuh pasien yang bertahan hidup enam bulan setelah stroke akan mandiri secara parsial atau total untuk menjalani aktivitas sehari-hari seperti mandi, berpakaian, makan, dan bergerak.
d.      Ini mencakup sekitar 10% dari pasien yang memerlukan perawatan jangka panjang
e.       Sekitar sepertiga pasien yang bertahan hidup satu tahun tidak mampu memperoleh kembali kemandirian mereka, dan proporsi ini relatif tidak berubah setelah lima tahun.
Posisi di Tempat Tidur dan Terapi Fisik
Tempat tidur yang ideal bagi pasien stroke adalah tempat tidur yang padat dengan bagian kepala cukup keras untuk menopang berat ketika disandarkan; tempat tidur tunggal memungkinkan orang yang merawat meraih pasien dari kedua sisi. Pada beberapa kasus, ahli terapi okupasional merancang tempat tidur fungsional khusus bagi pasien.
Pasien yang mengalami imobilisasi perlu diposisikan dan direposisikan dengan benar di tempat tidur karena hal ini dapat membantu mencegah komplikasi seperti pembentukan bekuan darah, dekubitus, pneumonia, kontraktor sendi, dan nyeri bahu
Pada banyak kasus, pasien yang mengalami imobilisasi dirawat secara penuh di fasilitas perawatan, namun jika Anda merawatnya di rumah, Anda dianjurkan mengikuti prosedur berikut :
a.       Pastikan bahwa pasien memiliki kasur yang sesuai, bertanyalah kepada dokter atau ahli terapi okupasional jika perlu.
b.      Balikkan pasien dari satu sisi ke sisi lain setiap 2–3 jam sepanjang siang dan malam.
c.       Ubahlah posisi lengan dan tungkai setiap 1–2 jam sepanjang siang dan malam hari
d.      Pijatlah tungkai yang lumpuh sekali atau 2 kali sehari
e.       Gerakkan semua sendi di tungkai yang lumpuh secara lembut dan perlahan-lahan (yaitu, lurus dan menekuk) 5–7 kali. Tahanlah sendi di setiap posisi selama sekitar 30 detik. Gerakan sebaiknya tidak menimbulkan nyeri. Ulangi proses ini setiap empat jam. Jika mungkin, cobalah memberi semangat pasien untuk bekerja sama dengan gerakan dan meningkatkan mobilitas mereka karena ini akan membantu mempercepat pemulihan.
f.        Topanglah hemiplegik (lemah) dengan buah bantal. Jangan membaringkan pasien telentang atau menarik lengan yanglumpuh.

2.      Membalik Pasien

Pasien yang mengalami imobilisasi perlu dibalik dan diposisikan secara reguler, bahkan pada malam hari. Tersedia beberapa seprai nilon (misalnya, Slippery Sam, Slide Sheets) yang mempermudah kita menggerakkan dan menggulingkan pasien. Untuk membalik pasien di tempat tidur, orang yang merawat harus menyelipkan lengan mereka di bawah tubuh pasien dan menarik pasien ke arah mereka. Jika pasien sudah terputar, bukalah dan kencangkan seprai di bawahnya.
Punggung pasien juga harus juga diperiksa untuk melihat tanda-tanda dekubitus. Untuk mencegah timbulnya dekubitus, bersihkan kulit dengan air hangat, spons, dan sedikit antiseptik atau sabun paling tidak sekali sehari. Semua seprai yang basah harus langsung diganti

3.      Bridging

Latihan ini dapat membantu pasien bergerak di tempat tidur. Pasien menekuk tungkai mereka yang kuat, dan orang merawat membantu dengan menekuk tungkai yang lemah dan menahannya dalam posisi yang dibutuhkan. Pasien kemudian mendorong kaki mereka ke tempat tidur, dan mengangkat panggul sehingga panggul dapat dipindahkan ke salah satu sisi dan menurunkan panggul ke posisi yang baru

4.      Mencegah Pembentukan Bekuan Darah
Pemakaian obat anti–Pembekuan, aplikasi kompresi pneumatik intermiten, dan penggunaan kaus kompresi dapat membantu mencegah terbentuknya bekuan darah.
Dokter akan menjelaskan kapan tindakan ini diperlukan dan ia akan memberikan informasi yang Anda perlukan

5.      Duduk di Tempat Tidur

Berilah pasien semangat untuk duduk dan bersandar ke bagian kepala tempat tidur sesegera mungkin – sebagian besar pasien stroke yang bertahan hidup mampu melakukan ini sendiri dalam satu Minggu. Mereka sebaiknya menghabiskan lebih banyak waktu duduk dari pada tidur telentang. Duduk lebih kecil kemungkinannya menyebabkan tersedak dan mempermudah pasien bernafas dan menelan. Jika mobilitas pasien sangat terhambat, alat pengangkat dapat membantu mereka bergerak di tempat tidur dengan aman. Dapat digunakan bantal tambahan untuk menyumbangkan pasien dan memberikan topangan di sisi yang lumpuh. Pada awalnya, mungkin diperlukan satu atau dua orang untuk menegakkan pasien, tetapi sebagian besar orang segera mampu melakukannya sendiri. Saat duduk, gunakan bantal untuk menopang lengan yang lumpuh/ lemah.

6.      Perawatan kulit
Perawatan kulit yang cermat sangat penting untuk mencegah dekubitus (luka karena tekanan) dan infeksi kulit; adanya hal-hal ini menunjukkan bahwa perawatan pasien kurang optimal. Keduanya sebaiknya dicegah alih-alih diobati, karena dekubitus menimbulkan nyeri dan sembuhnya lama, dan jika terinfeksi, luka ini dapat mengancam nyawa. Pada pasien stroke, dekubitus dapat terjadi karena berkurangnya sensasi dan mobilitas. Inkontesia dan malnutrisi, termasuk dehidrasi, juga meningkatkan risiko timbulnya dekubitus dan menghambat proses penyembuhan.
Orang yang tidak dapat bergerak harus sering di putar dan tereposisi, dan seprai mereka harus terpasang kencang. Bagi pasien yang hanya dapat berbaring atau duduk di kursi roda, bagian-bagian tubuh yang paling berisiko antara lain adalah punggung bawah (sakrum), pantat, paha, tumit, siku, bahu, dan tulang belikat (skapula). Sekali sehari, gunakan spons kering untuk membatali titik-titik tekanan ini agar mencegah tertekanya saraf dan terbentuknya dekubitus. Ketika melakukan hal ini, periksalah ada tidaknya abrasi, lepuh, dan kemerahan kulit yang tidak hilang ketika ditekan karena hal-hal ini menunjukkan awal dekubitus. Kulit pasien harus di jaga kering dan diberi bedak. 
Untuk pasien dengan fraktur atau inkontinesia urine atau fases, mengalami malnutrisi atau dehidrasi dan memiliki riwayat dekubitus (jaringan parut lebih lemah daripada jaringan sehat), reposisi harus dilakukan lebih sering. Setiap kali dilakukan pembersihan terhadap inkontinesia, kulit di sekitar juga perlu diperiksa. Semua bagian yang tertutup perlu dibersihkan, misalnya lipatan kulit yang dalam di bawah skrotum atau di antara pantat. 
Sebagian pasien yang hanya dapat berbaring di tempat tidur mungkin memerlukan kasur khusus, misalnya kasur udara. Namun, perlu diingat bahwa meski telah menggunakan alat ini, orang yang merawat tetap harus membalik dan mereposisi pasien dan mengikuti semua rekomendasi yang diberikan di sini atau oleh profesional perawatan kesehatan.
Jika terbentuk luka, terapi akan paling efektif jika dimulai pada tahap awal luka. Tunjukkan segala sesuatu yang mungkin mencemaskan anda kepada ahli terapi, perawat, atau dokter. Identifikasi dekubitus oleh orang yang merawat sangat penting agar terapi efektif karena masalah komunikasi atau karena mereka tidak menyadarinya
7.      Perawatan Mata dan Mulut
Pasien yang tidak dapat minum tanpa bantuan harus membersihkan mulutnya dengan sikat lembut yang lembab atau kapas penyerap sekitar satu jam. Perawatan mulut yang teratur sangat penting, terutama untuk pasien yang sulit atau tidak dapat menelan.
Gunakan kain lembab yang bersih untuk membersihkan kelopak mata pasien jika diperlukan. Jika pasien yang mengantuk terus membuka mata dalam jangka panjang, mata mereka dapat mengering, yang bisa menyebabkan infeksi dan ulkus kornea. Untuk mencegah hal ini, dianjurkan penutupan mata dan penggunaan pelumas, salep, atau air mata buatan yang dapat di beli bebas (1–2 tetes setiap 3–4 jam)
8.      Mencegah Nyeri Bahu
Nyeri bahu merupakan masalah yang sering terjadi pada pasien stroke, dialami oleh sekitar 1 dari 5 pasien dalam waktu enam bulan setelah stroke. Komplikasi ini disebabkan oleh peregangan dan peradangan sendi bahu yang melemah, dan sangat sering pada pasien dengan tungkai atas atau bawah yang lemah, atau mereka yang memiliki riwayat gangguan tungkai atas, diabetes melitus, dan tinggal sendiri di rumah.
Seperti pada banyak komplikasi stroke lain, nyeri bahu jauh lebih mudah dicegah daripada diobati. Pada kenyataannya, sekali terbentuk, nyeri ini cenderung menetap, sering kali semakin buruk, terutama jika tidak terapi dengan benar, dan dapat menyebabkan cacat yang signifikan. Tindakan pencegahan terbaik adalah penempatan posisi dan reposisi di tempat tidur menopang lengan yang lemah (lumpuh) dengan bantal atau sandaran tangan jika mungkin; menghindari peregangan sendi bahu, terutama oleh tarikan pada lengan lemah; dan menopang lengan yang lemah dengan lengan yang normal atau dengan menggunakan perban sportif saat berjalan sehingga lengan tersebut tidak terkulai ke bawah. Pasien stroke jangan ditarik di lengannya yang lumpuh. 
9.      Turun Dari Tempat Tidur Dan Bergerak
Segera setelah pasien mampu, bantulah mereka turun dari tempat tidur dan duduk di kursi yang nyaman untuk jangka pendek. Peningkatan mobilitas pasien harus lambat dan bertahap, dan jika mungkin, mengikuti rangkaian berikut : bergerak di tempat tidur dengan tungkai ke bawah, berdiri di samping tempat tidur, berjalan ke kursi, duduk di kursi, berjalan di lantai yang rata.
Pasien harus perlu berupaya mencapai tingkat yang lebih tinggi. Hanya berbaring dan menunggu perbaikan sama artinya kehilangan kesempatan untuk pemulihan terbaik. Dalam hal ini, motivasi yang kuat, termasuk kepercayaan pada proses pemulihan, sangatlah penting. Semangati pasien untuk secara mental mencoba memerintahkan lengan atau tungkai mereka yang lumpuh untuk bergerak dan melakukan apa yang mereka inginkan. Mereka dapat melakukan apa yang mereka inginkan. Mereka dapat menggunakan lengan atau tungkai mereka yang sehat untuk membantu. Hal yang sama berlaku bagi fungsi lain yang hilang atau terganggu. Seperti yang telah disinggung, tidak seorang pun tahu apa yang menyebabkan suatu bagian otak mengambil alih sebagian dari fungsi yang hilang setelah stroke atau cedera otak lainnya, tetapi kapasitas otak untuk melakukan hal ini sangatlah besar. Oleh karena itu, pasien jangan pernah menyerah untuk mencoba pulih. (10)Indikasi terbaik bahwa pasien siap bergerak ke tingkat mobilitas vang lebih tinggi adalah kemampuan menoleransi tingkat mobilitas yang telah mereka capai; jika pasien sudah merasa nyaman melakukan suatu aktivitas selama paling sedikit satu menit, mereka dapat bergerak ke tingkat selanjutnya. Demi alasan keamanan, sebaiknya ada satu atau dua orang asisten berdiri dl samping pasien dan membantu pasien, terutama pada tahap-tahap awal. Ketika berdiri atau berjalan, pasien sebaiknya berupaya menggunakan tungkai mereka yang lumpuh dengan menopangkan best badan mereka pada tungkai tersebut sebisa mungkin dan dengan memindahkan best badan dari satu sisi tubuh ke sisi lainnya. Pada awalnya pasien harus mencoba hanya beberapa langkah kecil. Sesi latihan yang sering dan singkat, dengan peningkatan gerakan secara perlahan, merupakan cara yang paling aman dan efektif. Jika pasien telah yakin dapat berjalan di lantai yang datar, mereka dapat mulai naik tangga, tetapi pastikan bahwa susuran tangganya telah aman dan kuat.
Bahkan orang berusia muda yang sehat namun berbaring beberapa hari di tempat tidur akan mengalami sedikit masalah jika berdiri dengan cepat dan langsung berjalan. Orang yang mengalami stroke sering kali telah berusia lanjut dan sistem kardiovaskular mereka sering terganggu, sehingga toleransi mereka terhadap peningkatan mobilitas dapat sangat berkurang. Petugas kesehatan sebaiknya memberitahu pasien apakah mereka boleh berusaha jalan dan apakah mereka dapat mencoba berjalan sendiri atau dengan bantuan.
Pasien mungkin perlu dibantu untuk turun dari tempat tidur atau berpindah dari tempat tidur ke kursi, terutama pada tahap-tahap awal setelah stroke. Letakkan sebuah kursi yang kuat dan tidak terlalu rendah dekat tempat tidur untuk membantu pemindahan (jika Anda menggunakan kursi roda, rem tangan harus terkunci untuk mencegahnya bergerak). Singkirkan semua keset yang dapat bergerak atau benda lain yang dapat menyebabkan pasien terpeleset, terantuk, atau jatuh.
Rangkaian tindakan berikut ini dapat digunakan untuk memindahkan pasien lumpuh dari kursi ke toilet. Sekali lagi, jika menggunakan kursi roda, pastikan bahwa rem tangan sudah terkunci.
a.       Jelaskan proses pemindahan ke pasien, dengan menekankan posisi  akhir.
b.      Berdirilah di depan pasien dan peluklah mereka dengan lengan Anda melingkari punggung atau memegang tali pinggang.
c.       Tahanlah tungkai atau kaki yang lemah, jika perlu, dan mulailah menghitung untuk mengangkat. Hal ini memungkinkan pasien mengetahui apa yang sedang terjadi sehingga la dapat memberi bantuan yang maksimal.
d.      Mintalah pasien untuk condong ke depan, kemudian angkatlah dan raihlah lengan kursi yang terletak paling jauh.
e.       Mintalah pasien untuk melangkah berputar, jika mungkin, atau berputar sedemikian sehingga ia berada di depan kursi atau toilet. Pasien kemudian dapat duduk.

10.  Menelan Dan Makan
Biasanya dokter atau perawat yang berpengalaman dalam menilai kemampuan menelan akan mengamati adanya tanda-tanda kesulitan makan atau minum. Tanda-tandanya antara lain adalah bicara pelo, suara yang basah dan serak, atau mengeluarkan liur di salah satu sisi mulut. Pasien dapat diberi sedikit air untuk memeriksa kemampuan mereka menelan, tetapi hal ini harus dilakukan oleh petugas kesehatan. Jika tidak terdapat masalah yang nyata, pasien dapat diminta untuk mencoba makanan dan minuman yang dapat ditelan pasien dengan aman.
Kesulitan menelan sangat berbeda dari satu pasien ke pasien lain. Ahli terapi wicara akan memberi nasihat mengenai konsistensi makanan dan minuman yang sesuai. Anda mungkin dinasihati untuk menghindari makanan tertentu, misalnya makanan yang terlalu keras, kering, atau beremah-remah. Cairan dapat dikentalkan melalui beberapa cara. Makanan pengental dapat dibeli di apotek dan pasar swalayan (misalnya, bubuk puding instan). Anda dapat dengan mudah mengentalkan susu dengan pisang rebus yang ditumbuk bubur/pure buah, atau produk susu yang kental, seperti yoghurt. Sup dapat dikentalkan dengan menambahkan bubuk skim-milk, kentang rebus lunak, atau sayuran bertepung lainnya. Apa pun metode yang Anda gunakan, makanan harus halus dan konsisten. Jika Anda mengalami kesulitan mengentalkan makanan, ahli terapi wicara atau ahli gizi dapat memberi bantuan.
Jika pasien stroke tidak mampu menyantap cukup makanan untuk tetap sehat, mereka perlu secara temporer diberi makan melalui selang, yang dimasukkan melalui hidung hingga ke lambung. Pasien yang sakit parah atau yang tidak dapat menoleransi adanya selang di hidung dapat diberi makan melalui selang yang menembus dinding perut ke dalam lambung gastroskopi endoskopik perkutis. 
Pasien stroke memerlukan makanan yang memadai, lezat, dan seimbang dengan cukup serat, cairan (2 liter atau lebih sehari), dan miktonutrien. Jika nafsu makan pasien berkurang, mereka dapat diberi makanan ringan tinggi-kalori yang lezat dalam jumlah terbatas setiap 2-3 jam, bersama dengan minuman suplemen nutrisional. Untuk mencegah tersedak dan pneumo­nia aspirasi, semua makanan harus disantap dalam keadaan duduk, jangan berbaring.
Untuk mencegah tumpah, letakkan piring pada alas antiselip dan, paling tidak pada awalnya, mungkin sebaiknya digunakan piring yang cekung sehingga makanan tidak mudah tumpah. Terdapat alat-alat bantu untuk orang yang makan dengan satu tangan dan juga terdapat mangkuk telur yang dapat ditempelkan ke meja. Ahli terapi okupasional biasanya menilai kebutuhan pasien akan alat-alat semacam ini. 
11.  Mengatasi Masalah Berbicara dan Menulis
Sekitar separuh dari pasien stroke akut mula-mula akan mengalami masalah bahasa, termasuk berbicara pelo, tetapi hanya sekitar sepertiga pasien stroke terus mengalami masalah ini di kemudian hari. Masalah bicara yang menetap paling sering terjadi pada pasien yang mengalami kelumpuhan di sisi kanan tubuh (atau kadang-kadang di sisi kiri dari orang kidal). Pasien mungkin tidak memahami pembicaraan orang lain atau mampu mengekspresikan diri mereka dengan jelas secara verbal, atau keduanya. Bentuk-bentuk lain masalah bicara adalah ketidakmampuan menemukan kata yang tepat; pemakaian kata-kata tanpa arti atau, pada kasus yang jarang, kata-kata kotor; ketidakmampuan berbicara meskipun secara fisik sanggup; ketidakmampuan memahami bahasa tulisan; dan ketidakmampuan menulis.
Orang dengan masalah bicara dan menulis mudah mengalami depresi atau frustrasi akibat kesulitan mereka. Karena itu, sangatlah penting untuk mendorong pasien berkomunikasi-menerima semua bentuk komunikasi (tulisan, tanda, bahasa tubuh, gambar, upaya berbicara) dan kemajuan, bahkan yang kecil sekalipun, untuk semakin mendorong pasien. Pasien jangan sering dikritik dan jangan memaksa bahwa setiap kata yang dihasilkan harus tepat. Cobalah memberi pasien cukup waktu untuk menanggapi pertanyaan Anda dan abaikan semua kesalahan.
Bagi orang yang mengalami gangguan bicara dan menulis, ahli terapi wicara dapat menyusun program terapi spesifik untuk berbicara dan berbahasa. Orang yang mera­wat dapat diminta membantu dengan memberikan kesempatan bagi pasien untuk mendengar orang lain berbicara atau mencoba berkomunikasi dengan tulisan, gambar, memberikan jawaban ya/tidak, memperlihatkan bahasa tubuh, atau menggunakan kontak mata atau ekspresi wajah. Pasien sebaiknya diajak berbicara mengenai masalah keluarga, diperlihatkan dan diajak berdiskusi mengenai foto orang atau tempat yang familier, mengobrol tentang teman, atau melakukan latihan berupa mengulang-ulang kata. Sebaiknya segera dicari cara untuk berkomunikasi tentang kebutuhan sehari-hari. Ahli terapi wicara dapat memberikan nasihat mengenai semua alat bantu yang mungkin menolong.
Semangati pasien agar menjadi semandiri mungkin dan ikut serta dalam aktivitas normal, misalnya makan malam dengan keluarga atau tamu. Cobalah jangan mengabaikan pasien sewaktu mengobrol bersama-sama pasien perlu dilibatkan sebanyak mungkin dalam keputusan­-keputusan keluarga dan tetap diberi informasi mengenai berbagai peristiwa yang penting. Pada saat yang sama, upayakan agar mereka tidak terbebani oleh masalah sehari-hari yang akan menyebabkan mereka lelah dan stres.
Orang yang mengalami kesulitan menemukan kata-kata yang tepat sebaiknya dibebaskan untuk menggunakan metode lain dalam menyampaikan maksud mereka. Misalnya, selain menggunakan kata “perpustakaan”, mereka dapat berkata “tempat di mana Anda meminjam buku”; jika kata itu adalah “piano”, mereka dapat bergaya seperti bermain piano; jika kata itu adalah “apel”, mereka dapat mengatakan “sejenis buah”. Metode lain untuk menyampaikan arti adalah mengeja kata atau bagiannya, menulis kata, menggambarkannya, atau menunjuknya jika bendanya adu di sekitar. Sebagian pasien menunjuk gambar yang dipampangkan di, sebuah papan atau menulis dengan menggunakan keyboard.Pasien juga akan sangat terbantu jika mereka memvisualisasikan benda yang mereka coba sebutkan (yaitu, membentuk gambaran mental dari benda itu).
Pasien stroke yang dapat membaca, menulis, dan memahami perkataan orang lain, tetapi kesulitan untuk mengutarakan kata-kata dengan jelas (pasien dengan disartria) dapat memperoleh manfaat dari melakukan latihan lidah dan bibir dua kali sehari seperti berikut ini.
12.  Latihan Bibir Dan Lidah
Ulangi setiap gerakan sepuluh kali selama satu sesi, yaitu:
a.       Bentuklah bibir Anda menjadi seperti huruf “O”
b.      Tersenyumlah
c.       Berganti-ganti membentuk bibir seperti huruf “O” dan tersenyumlah, seolah-olah Anda mengucapkan oo-ee”
d.      Bukalah mulut lebar-lebar, kemudian gerakkan bibir seolah-olah Anda hendak mencium
e.       Lemparkan ciuman
f.        Tutuplah bibir erat-erat seakan Anda berkata “mm”
g.       Ucapkan “ma ma ma ma” secepat mungkin
h.       Ucapkan “mi mi mi mi” secepat mungkin
i.         Katuplah bibir Anda rapat-rapat dan gembungkan pipi dengan udara; tahanlah udara di dalam pipi selama lima detik, dan kemudian keluarkan
j.        Cobalah sentuh dagu Anda dengan ujung lidah
k.      Cobalah sentuh hidung Anda dengan ujung lidah.
l.         Julurkan lidah Anda sejauh mungkin, tahanlah selama tiga detik, dan kemudian tariklah kembali ke dalam mulut
m.     Sentuhlah sudut-sudut mulut Anda dengan lidah, gerakkan lidah Anda dengan cepat dari kanan ke kiri, dan kembali lagi
n.       Usapkan lidah Anda mengelilingi bibir Anda
o.      Ucapkan suara “ta ta ta” dengan kecepatan yang semakin meningkat
p.      Tekanlah lidah Anda ke gusi bagian atas, kemudian ke gusi bagian bawah
q.      “Sikat”-lah gigi Anda dengan lidah.
r.        Doronglah lidah Anda sekuat mungkin ke pipi kanan dan kemudian pipi kiri.
Ketika berbicara dengan pasien, duduklah berhadapan secara langsung. Cobalah berbicara secara perlahan dan gunakan kalimat-kalimat pendek sederhana. Sikap dan ekspresi wajah yang suportif dapat membantu pasien. Ulangi perkataan Anda jika diperlukan dan hindari kesan tidak sabar atau terganggu. Matikan semua kebisingan yang mengganggu seperti radio, stereo, atau televisi. Pasien juga akan merasa lebih mudah jika orang lain yang ada di ruangan tidak berbicara secara bersamaan. Jangan berpura-pura memahami perkataan pasien jika sebenarnya tidak, dan jangan pernah menghina pasien dengan membicarakan mereka seolah-olah mereka tidak ada
Sesi-sesi ini harus dilakukan sesering mungkin, tetapi juga jangan terlalu lama karena pasien dengan masalah bahasa mudah lelah. Ahli terapi wicara kadang merujuk orang yang mengalami masalah komunikasi untuk mengikuti sesi perorangan atau kelompok khusus, dan kadang-kadang seseorang yang pernah mengalami stroke dipasangkan dengan seorang relawan atau dapat ikut serta dalam suatu kelompok komunikasi.
13.  Pengendalian Buang Air Kecil dan Besar
Meskipun masalah buang air kecil dan besar (inkontinensia atau retensi) relatif biasa pada minggu-minggu pertama setelah stroke, terutama pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau kebingungan, sebagian besar pasien pulih sempurna pengendaliannya dalam beberapa Minggu.
Saat mereposisi pasien, pembalut inkontinensia yang basah atau tercemar kotoran harus diganti. Sebagian pria dapat dijaga kering dengan menggunakan botol urine secara teratur. Jika perlu, letakkan penis pada semacam selang. Namun, pada sebagian kasus, mungkin perlu dipasang kateter (selang) ke dalam kandung kemih, dan selang ini akan secara otomatis mengeluarkan urine. Sebagian wanita yang mengalami inkontinensia dapat dijaga tetap kering dengan menggunakan pembalut inkontinensia, tetapi jika tidak dimungkinkan atau kurang efektif, kateter dapat dimasukkan ke dalam kandung kemih. Orang yang merawat perlu diajari mengenai cara membersihkan kateter, tetapi yang memasangnya haruslah seorang perawat. 
Pemakaian kateter sesekali merupakan suatu pilihan bagi orang yang terus mengalami inkontinensia atau retensi. Namun jika kateter digunakan selama seminggu atau lebih, akan terjadi peningkatan risiko berjangkitnya infeksi saluran kemih, yang kadang-kadang menimbulkan komplikasi serius, misalnya sepsis (keracunan darah) yang dapat mematikan. Karena itu, sering dianjurkan pemasangan kateter temporer yang cukup sering sesekali disertai irigasi kandung kemih dengan antiseptik: Jika tetap terjadi infeksi saluran kemih, dokter biasanya meresepkan antibiotik untuk mengatasinya.
Seperti orang lain, pasien stroke perlu buang air besar secara teratur paling tidak sekali setiap 2-3 hari. Sembelit umumnya didefinisikan sebagai buang air besar yang jarang (kurang dari tiga kali seminggu) atau kesulitan mengeluarkan tinja. Sembelit adalah masalah yang umum dijumpai pada orang berusia lanjut dan pada orang yang mengalami stroke. Beberapa obat (misalnya, opioid) juga dapat menyebabkan sembelit Konsekuensi sembelit adalah rasa tidak nyaman, berkurangnya kualitas hidup, dan, pada kasus yang parah, gangguan kesehatan, termasuk perforasi usus (usus berlubang) dan komplikasi kardiovaskular yang menyebabkan pasien perlu dirawat inap. Cara terbaik untuk mengatur buang air besar adalah makanan yang memadai dan seimbang serta banyak cairan (paling tidak dua liter sehari) dan serat (buah dan sayuran), serta aktivitas fisik yang cukup. Pelunak tinja (laksatif, pencahar), supositoria, dan enema dapat digunakan untuk sembelit yang terjadi sekali­-sekali. Namun jika masalahnya menetap, pasien atau orang yang merawatnya perlu meminta nasihat dari dokter atau perawat yang biasa menangani hal ini.
14.  Latihan Bernapas

Untuk pasien stroke yang tidak dapat bangun dari tempat tidur dan mereka yang mengalami hambatan besar dalam mobilitas, ventilasi paru perlu dijaga agar tetap cukup untuk mencegah infeksi dada. Hal ini dapat dilakukan dengan kombinasi latihan bernapas dalam, penempatan posisi yang benar, dan meludahkan semua kelebihan lendir dari mulut. Jika pasien mengalami masalah bernapas, fisioterapi dada juga dapat membantu paru agar tetap bersih

15.  Mengatasi Masalah Sensorik
Stroke dapat memengaruhi kemampuan sensoris melalui sejumlah cara. Kehilangan sensasi di salah satu bagian tu­buh, misalnya lengan atau tungkai, biasanya tidak memengaruhi kegiatan rutin pasien, tetapi mereka perlu berhati-hati agar tidak terluka saat bercukur atau memasak, atau mengalami luka bakar akibat air panas untuk mandi atau benda panas.
Pasien yang mengalami gangguan penglihatan separuh (hemianopia) atau menderita masalah orientasi spasial mungkin merasa frustrasi karena mereka sering tidak mengetahui benda-benda yang ada di sisi tubuh mereka yang sakit. Mereka mungkin, sebagai contoh, mengenakan atau menanggalkan baju hanya di satu sisi tubuh, makan hanya separuh piring, atau menulis hanya di satu sisi dari satu halaman. Pasien biasanya tidak belajar untuk menolehkan kepala mereka untuk melihat ke sisi yang terkena, sehingga mereka berisiko tersesat atau mengalami disorientasi. Mereka cenderung berjalan menuju objek di sisi mereka yang terkena stroke, dan mereka tidak melihat, atau menyadari, benda-benda bergerak yang datang dari arah tersebut, misalnya mobil. Selain tidak mampu mengendarai mobil, pasien mungkin membutuhkan bantuan untuk berjalan di jalan dan banyak aktivitas sehari-hari lainnya. Kadang gejala ini adalah satu-satunya akibat dari stroke, tetapi pasien tetap dianggap mengalami cacat berat.
Pasien dengan masalah orientasi ruang juga mungkin mengabaikan suara-suara yang datang dari kiri, mengabaikan atau mengingkari sisi kiri mereka, bahkan jika sisi tersebut mengalami lumpuh berat, atau mungkin tidak mampu mengenali wajah kerabat dekat atau pasangan. Bagi sebagian pasien, bahkan mereka yang tidak mengalami kelumpuhan, melakukan gerakan berurutan kompleks yang dibutuhkan untuk melakukan tugas tertentu, misalnya mengenakan pakaian atau membuat secangkir kopi, merupakan hal yang sangat sulit atau mustahil. Anggota keluarga perlu menyadari masalah ini dan memahami bahwa masalah tersebut adalah konsekuensi dari stroke dan bukan karena pasien bertingkah.
Ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan untuk membantu mengatasi masalah ini. Sebagai contoh, cermin sepanjang tubuh akan membantu pasien melihat kedua sisi tubuhnya. Menyentuh sisi yang terkena dampak stroke untuk mengingatkan mereka tentang sisi itu dapat membantu mempercepat rehabilitasi. Saat berbicara dengan pasien, dianjurkan agar Anda berdiri di depan mereka atau di sisi sehat mereka. Juga letakkan piring makanan ke arah sisi yang sehat.
Sebagian kecil pasien stroke mengalami nyeri “sentral”, yang disebabkan oleh kerusakan di suatu daerah di otak tengah yang disebut talamus, yaitu suatu bagian dalam otak yang bekerja sebagai pusat pemancar sensoris. Nyeri ini adalah campuran sensasi, termasuk panas dan dingin, dan sering dijelaskan sebagai rasa terbakar, tersengat, atau tertusuk benda tajam di bagian tubuh yang lumpuh. Nyeri ini sering lebih terasa di tangan dan kaki, dan kadang-kadang dapat sedemikian parah. Nyeri dapat ditimbulkan atau diperparah hanya oleh gosokan ringan di bagian rubuh yang terkena, oleh gerakan, atau oleh perubahan suhu, terutama suhu dingin. Komplikasi stroke yang serius ini suhu diatasi, dan pasien perlu dikonsultasikan ke ahli neurologi.
16.  Menangani Kehidupan Sehari-Hari
Setelah stroke, pasien perlu kembali melakukan aktivitas sebelumnya sebanyak mungkin. Mereka perlu mencoba keluar dan mulai melakukan hal-hal yang mereka sukai sebelum stroke segera setelah dokter mengizinkan. Kita perlu tetap berpikir positif mengenai pemulihan. Jika pemulihan sempurna tidak mungkin dicapai, paling tidak pemulihan parsial dapat dicapai.
Pastikan bahwa aktivitas harian pasien yang biasa tetap dapat dilakukan dengan aman dan buatlah penyesuaian yang diperlukan. Pertama-tama, sebagian aktivitas sebaiknya dilatih di bawah bimbingan ahli terapi atau perawat. Aktivitas ini mungkin berupa mengenakan baju, mandi, memasak, atau naik tangga. Dalam merawat seseorang yang mengalami stroke, upayakan agar harga diri mereka tidak terluka. Semangati mereka untuk melakukan sendiri hal-hal yang dapat mereka lakukan.
Pasien dengan masalah orientasi ruang atau apraksia sering membutuhkan bantuan untuk mengenakan busana karena mereka tidak mampu menggunakan kedua lengan dengan benar, bahkan meskipun mereka tidak mengalami kelemahan yang nyata pada anggota badan. Mereka kadang-kadang mengenakan busana di bagian yang salah dan sering tidak dapat memasukkan kancing. Saat menolong pasien mengenakan baju, berhati-hatilah agar sendi yang lumpuh tidak teregang, terutama sendi bahu. Semangati pasien untuk mengenakan baju sendiri sebisa mungkin. Busana pasien mungkin perlu diadaptasi-belilah sepatu tanpa tali, baju dengan kancing velcro, dan sebagainya. Tetapi pastikan bahwa pasien merasa nyaman dengan adaptasi ini sebelum melanjutkannya. Ingatlah bahwa gigi palsu jangan dibiarkan terpasang pada malam hari, dan bahwa gigi tersebut perlu dibersihkan sebelum dipasang.
Jika timbul masalah spastisitas (kekakuan) otot setelah stroke, masalah ini dapat dikurangi dengan memanaskan atau mendinginkan atau dengan latihan peregangan pasif dan aktif pada rentang gerakan yang biasanya dilakukan oleh otot atau sendi yang terkena. Namun, jika Anda mencurigai bahwa pasien tidak dapat merasakan suatu gerakan tertentu, berhati-hatilah agar sendi tidak terlalu diregangkan atau mengalami cedera. Ahli fisioterapi pasien seharusnya mampu memberi Anda nasihat mengenai bagaimana melakukan latihan ini dengan aman. Jika tindakan ini kurang efektif, ahli fisioterapi dapat memberikan rangsangan listrik terhadap otot, memberikan pelemas otot (misalnya, baklofen, suntikan toksin botulinum), atau intervensi lainnya.
Jika pasien tidak mampu secara aman melakukan sen­diri sebagian dari kegiatan sehari-harinya, tersedia bantuan dan layanan khusus yang dapat membantu, termasuk berbagai adaptasi yang dapat dilakukan di rumah pasien. Hal ini direkomendasikan oleh ahli fisioterapi, yang dapat membantu melakukan perjanjian yang diperlukan. Bantuan dari layanan sosial dan masyarakat dapat mengatasi sebagian dari perawatan personal, termasuk merawat rumah, menyiapkan tempat tidur pasien, menyiapkan makan di kursi roda, berbelanja, dan mengumpulkan resep.
Ketika seorang pasien stroke pergi keluar untuk pertama kali, ada baiknya jika ada orang lain yang menemani, paling tidak sampai pasien merasa percaya diri bahwa mereka dapat melakukannya sendiri. Jika dalam waktu 4 – 6 bulan setelah stroke pasien masih belum dapat berjalan tanpa bantuan atau merasa kurang nyaman melakukannya, mereka dapat diberi tongkat berjalan atau alat bantu berjalan lainnya seperti kursi roda manual atau listrik sehingga sedikit banyak mereka mandiri. Juga, dapat dilakukan berbagai penyesuaian pada mobil pasien ­bahkan tersedia mobil yang telah secara khusus diadaptasikan untuk orang dengan berbagai cacat. Namun, sebelum benar-benar membeli salah satu alat bantu ini, ada baiknya Anda menanyakan pendapat ahli fisioterapi atau ahli terapi okupasional mengenai tingkat mobilitas pasien yang paling mungkin dicapai dan, oleh karena itu, menemukan alat bantu yang paling cocok bagi mereka.
Jika pasien menggunakan kursi roda dan rumah mereka memiliki tangga, akan menolong jika di rumah tersebut dibangun jalan masuk landai dari kayu atau beton. Anda juga mungkin perlu memperlebar pintu-pintu rumah agar pasien dapat bergerak bebas di dalam rumah. Pemasangan kabel listrik yang aman, pegangan tangan di kamar mandi,, dan adaptasi rumah lainnya juga dapat membantu.
Aktivitas fisik, khususnya latihan yang meningkatkan kekuatan dan keseimbangan tungkai bawah, dapat membantu agar pasien tidak mudah jatuh. Jenis latihan ini perlu diajarkan dan diawasi oleh ahli fisioterapi atau perawat yang dilatih khusus. Sebagian pasien merasa mudah lelah selama siang hari, sehingga istirahat atau jeda yang reguler dapat mengatasi masalah ini
17.  Aktivitas Fisik Setelah Stroke
Olahraga yang aman dan menyenangkan setelah stroke penting bagi kesehatan secara umum dan untuk mengurangi risiko stroke di masa mendatang. Dalam merencanakan suatu program olahraga, perlu dipertimbangkan tingkat latihan yang dilakukan pasien sebelum stroke. Umumnya paling aman jika latihan/olahraga dimulai secara lambat, lalu jumlah dan intensitasnya ditingkatkan secara bertahap. Jenis aktivitas yang mungkin dilakukan bergantung pada ­efek stroke. Mereka yang tidak banyak mengalami masalah fisik dapat mencoba berjalan, menggunakan sepeda statis, dan melakukan aktivitas olahraga yang biasa mereka lakukan. Pasien yang masalahnya lebih berat, misalnya mereka yang mengidap hemiplegia, mungkin memerlukan bantuan ahli fisioterapi atau spesialis olahraga. Secara umum, seperti pada orang lain, sebaiknya pasien melakukan sekitar setengah jam aktivitas yang menyebabkan pasien merasa hangat, sedikit terengah-engah, dan sedikit berkeringat, tiga kali seminggu atau lebih. Olahraga aerobik, misalnya berjalan atau bersepeda, biasanya sangat bermanfaat, serta pemakaian beban dan aktivitas penguatan otot berulang juga dapat membantu.
Pasien stroke yang juga memiliki masalah jantung perlu memastikan kondisi jantung mereka stabil sebelum mengubah tingkat aktivitas yang biasa. Dalam hal ini, pasien sebaiknya memeriksakan diri ke dokter dan membahas tingkat aktivitas yang direncanakan
18.  Mengatasi Masalah Emosional
Hampir 70% pasien stroke sedikit banyak mengalami masalah emosional, misalnya reaksi sedih, mudah tersinggung, tidak bahagia, murung, atau depresi. Terdapat bukti bahwa orang yang menderita depresi pasca stroke memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar meninggal dalam 10 tahun dibandingkan dengan pasien stroke tanpa depresi ini mencakup Kematian akibat bunuh diri. Namun, jika pasien dan orang yang merawatnya menyadari masalah ini, biasanya ada hal-hal yang dapat dikerjakan untuk mengatasi masalah tersebut.
Sebagian masalah emosional muncul segera setelah stroke, sebagai akibat kerusakan di otak. Sebagai contoh, ketidakmampuan seseorang untuk mengekspresikan dirinya sendiri akibat masalah bahasa dapat menimbulkan sikap mudah marah. Masalah emosional lain timbul pada tahap lebih belakangan, misalnya sewaktu pasien akhirnya menyadari dampak penuh stroke atas kemandirian mereka.
Perlu diingat bahwa orang yang pernah mengalami stroke sangat rentan terhadap perubahan dalam situasi mereka, terutama jika mereka akan meninggalkan rumah sakit atau saat mereka pertama kali keluar rumah untuk berjalan-jalan. Ini merupakan reaksi fisiologis normal, dan pasien harus didorong untuk membahas kekhawatiran mereka akan karier serta anggota keluarga sehingga masalah tersebut dapat diatasi sebanyak mungkin.
Pada sebagian besar kasus, masalah emosional mereda seiring waktu, tetapi ketika terjadi, masalah itu dapat menyebabkan pasien menolak terapi atau kehilangan motivasi untuk menjalani proses rehabilitasi, yang dapat memengaruhi pemulihan pasien. Masalah emosional reaktif ini sering dapat dikurangi secara substansial dengan mendorong pasien membicarakan ketakutan dan kemarahan mereka. Pasien harus merasa bahwa mereka adalah anggota keluarga yang berharga. Tidak dapat dianggap remeh tentang pentingnya lingkungan rumah yang suportif, yang mendorong timbulnya perhatian terhadap orang lain dan aktivitas waktu luang, misalnya membaca, memasak, berjalan-jalan, berbelanja, bermain, dan berbicara. Pasien stroke yang keluarganya atau orang yang merawatnya tidak suportif dan yang memiliki kehidupan keluarga yang tidak berfungsi cenderung memiliki prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien lain. Sebagian pasien stroke mungkin merasa nyaman jika mereka berbagi pengalaman mereka dengan pasien stroke lain (daftar kelompok pendukung stroke dapat diperoleh dari organisasi layanan masyarakat lokal Anda). Jika diperlukan, masalah emosional dapat diatasi dengan konseling individual atau terapi kelompok. Psikoterapi juga dapat membantu sebagian pasien, misalnya mereka yang mengalami apati berat, depresi, tak tertarik atau menentang pengobatan. Jika masalahnya menetap, terutama depresi, dokter mungkin menganjurkan obat antidepresan (misalnya, fluoksetin dan amitriptilin) atau berkonsultasi dengan psikiater atau ahli psikologi klinis. Konsultasi dini biasanya dianjurkan untuk pasien yang mengalami depresi berat, terutama mereka yang mungkin ingin bunuh diri.
Beberapa pengidap stroke, terutama yang berusia lanjut dan menderita beberapa kali stroke, memperlihatkan letupan emosi yang tidak terkendali, seperti tertawa, menangis, atau memperlihatkan sikap mudah marah, tanpa alasan yang jelas. Pasien dan keluarganya perlu menyadari bahwa sebagian besar masalah perilaku yang -timbul sebagai akibat langsung dari stroke tidak bertahan lama dan bahwa masalah-masalah tersebut sering tidak mencerminkan perasaan pasien yang sebenarnya. 
19.  Mengatasi Masalah Kognitif
Masalah kognitif mencakup kesulitan berpikir, memusatkan perhatian, mengingat, membuat keputusan, menggunakan nalar, membuat rencana, dan belajar. Hal-hal ini sering menjadi komplikasi stroke, mengenai sekitar 64% dari pasien yang selamat dan menyebabkan demensia pada 1 dari 5 pasien stroke usia yang lebih lanjut. Namun, bagi banyak pasien stroke, masalah kognitif yang ringan cenderung akan mereda seiring dengan waktu, dan kemampuan mereka akan pulih sepenuhnya.
Jika pasien mengalami masalah daya ingat dan sedang mengonsumsi sejumlah obat jangka panjang, sebaiknya obat tersebut sudah dikemas di apotek. Tersedia beberapa kemasan komersial, di mana pil dibagi-bagi dan dilabeli dengan jelas sehingga pasien dapat melihat apakah mereka sudah minum jatah hari itu atau belum. Jika pasien tidak dapat mengikuti instruksi di obat resep, orang yang merawat perlu menjamin bahwa pasien minum obat dalam jumlah dan saat yang tepat. Terdapat bukti bahwa berbagai alat bantu mengingat dapat meningkatkan kemampuan pasien untuk mengonsumsi obatnya secara teratur. Ada baiknya dibuat bagan atau tabel tentang aktivitas harian, obat, dan kemajuan pasien pada selembar kertas.
Pasien stroke dengan gangguan kognitif yang parah, misalnya demensia, jarang pulih sempurna dan dapat bertambah buruk seiring dengan waktu. Hal ini terutama berlaku pada orang berusia lanjut yang pernah mengalami beberapa kali stroke serta mengidap penyakit-penyakit lain.
Sebagian pasien stroke tidak menyadari masalah kognitif mereka, sehingga mereka rentan mengalami kecelakaan atau tersesat. Anggota keluarga dan orang yang mera­wat perlu menyadari hal ini dan melakukan tindakan pencegahan, misalnya menyembunyikan benda-benda yang berpotensi membahayakan dan menyertai pasien jika mereka pergi keluar. Konsultasi dengan psikolog klinis atau psikiater juga dapat membantu. Jika keamanan pasien di rumah menjadi masalah, perlu dipertimbangkan agar pasien dipindahkan ke fasilitas perawatan residensial.
Meskipun belum ada terapi spesifik yang efektif untuk demensia vaskular, perkembangan atau kemajuan penyakit dapat dipengaruhi oleh pengendalian faktor risiko stroke, terutama hipertensi dan sumber embolus.(
20.  Mencegah Jatuh
Faktor risiko yang mempermudah pasien jatuh antara lain masalah ayunan langkah dan keseimbangan, obat-obat sedatif, kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, inakti­vitas, inkontinensia, gangguan penglihatan, dan berkurangnya kekuatan tungkai bawah.
Terdapat beberapa cara nonfarmakologis untuk mengurangi risiko jatuh:
a.       Orang berusia lanjut dan mereka yang menderita pusing bergoyang, sensasi kepala terasa ringan, sikap yang tak-mantap, atau masalah penglihatan ketika menggerakkan kepala atau tubuh (terutama saat bangun dari tidur dan berdiri) perlu berhati­hati saat bergerak dan menghindari perubahan posisi tubuh atau kepala secara terburu-buru. Turunlah dari tempat tidur secara perlahan dan bertahap: mula-mula bergeserlah sehingga Anda berbaring menyamping di tepi tempat tidur, kemudian duduklah, lalu ayunkan tungkai Anda memutar sehingga menjejak lantai, kemudian berdirilah, dan akhirnya mulai berjalan. Hindari gerakan kepala yang cepat, misalnya saat bercukur atau menyisir rambut, dan hindari menekuk kepala dalam posisi yang ekstrem.
b.      Banyak orang berusia lanjut terjatuh karena dehidrasi sehingga asupan cairan yang memadai merupakan hal yang sangat penting. Biasanya dua liter sehari memadai, kecuali jika dokter memberi nasihat lain.
c.       Aktivitas fisik, terutama olahraga yang meningkatkan kekuatan tungkai bawah dan keseimbangan, dapat mencegah jatuh. Jenis olahraga ini perlu diajarkan dan diawasi oleh ahli fisioterapi atau perawat terlatih.
Ada baiknya pasien yang berisiko diajari bagaimana jatuh dengan aman oleh ahli fisioterapi, seandainya tindakan pencegahan tersebut gagal. Untuk semakin mengurangi risiko jatuh, sebagian orang memerlukan bantuan untuk turun dari tempat tidur atau berpindah dari tempat tidur ke kursi.
Orang yang berisiko tinggi jatuh dan tinggal sendirian dapat meminta bantuan jika mereka memiliki alarm 24 jam yang terhubung ke stasiun monitor profesional atau terhubung langsung ke layanan ambulans. Alat alarm ini dapat dikenakan seperti jam tangan, kalung, atau dijepitkan ke baju, dan diaktifkan dengan menekan sebuah tombol. Alat ini memiliki pengeras suara dan mikrofon sensitif sehingga saat dilakukan hubungan dapat tercipta komunikasi dua arah bands-free. Sebagian alat memiliki detektor jatuh built-in yang secara otomatis memicu panggilan meminta bantuan jika gerakan pemakai mengindikasikan bahwa mungkin mereka terjatuh. 
21.  Hubungan Seks Setelah Serangan Stroke
Untuk sebagian besar penderita stroke tidak terdapat alasan mengapa kegiatan seks perlu di tinggalkan. Hubungan seks tidak akan memperbesar risiko untuk mendapatkan serangan stroke berikutnya. Namun, perubahan peranan mungkin diperlukan untuk mengatasi permasalahan cacat atau kelumpuhan yang diderita penderita dan juga dan juga mungkin terdapat problem-problem kejiwaan yang perlu diatasi yang perlu diatasi terlebih dahulu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar