Senin, 19 Desember 2011

Gambaran Pelaksanaan Perawatan Water Seal Drainage Terhadap Penyakit Paru oleh Perawat di RSUD Ulin Banjarmasin 2010.

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
     Profesi keperawatan merupakan salah satu profesi yang paling sering kontak dengan pasien, karena memberikan pelayanan 24 jam kepada pasien. Untuk itu seorang perawat haruslah profesional. “Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan keperawatan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-spiritual yang konfrehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh kehidupan manusia” (Gaffar, 1993: 31).
     Menurut     Muttaqin (2007: iii)    menerangkan     bahwa      paradigma perkembangan pelayanan keperawatan di rumah sakit tidak lepas dari perkembangan tingkat pengetahuan perawat, pengembangan keterampilan keperawatan dan etika keperawatan itu sendiri, sehingga apabila poin ini dilaksanakan perawat secara baik maka tercipta pelayanan keperawatan optimal apabila dilaksanakan sesuai standar keperawatan yang diberikan perawat sebagai profesi kepada pasien yang menjadi konsumen dan akhir-akhir ini semakin kritis terhadap pelayanan yang diberikan oleh perawat.
     “Perawatan WSD mempunyai tujuan untuk menghindari adanya komplikasi dan meningkatkan pengembangan paru secara optimal” (Muttaqin. A. 2008, 207). Pada asuhan keperawatan klinik perawat sering melakukan perawatan WSD pada berbagai pasien yang mempunyai masalah pada rongga thorax. Kondisi ini memberikan dampak terhadap semakin komprehensifnya peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang mempunyai masalah pada pola napas, sehingga diperlukan perawat yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang tinggi dalam memberikan pelayanan keperawatan.
    Pelaksanaan perawatan WSD sangat penting di mana dalam prosesnya bertujuan agar paru yang mengalami kolaps dapat mengembang kembali. Bila perawatan WSD tidak optimal akan menyebabkan pengembangan paru menjadi lambat sehingga menyebabkan hari rawat menjadi panjang dan akan menambah biaya perawatan dan pengobatan selama di rumah sakit. Lebih jauh bisa berakibat fatal dan akan membahayakan jiwa pasien di mana paru menjadi kolaps sehingga terjadi gagal napas dan dapat menyebabkan kematian.
    Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga menunjuk hampir sepertiga (28,4%) kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit paru. Dan berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional dikatakan bahwa 1 diantara 3 kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit paru.
Aditama, dkk (2000) menyatakan bahwa dari data yang dikumpulkan bagian ilmu kedokteran respirasi FKUU unit paru RSU Persahabatan penyebab kematian terbanyak adalah gagal nafas sebanyak 40%, serta beberapa penyakit paru yang lain penyebab kematian yaitu pneumothorax sebanyak 1,03 %, hematothorax sebanyak 18,18%, efusi pleura sebanyak 15,69 %, empiema sebanyak 1,14 %.
Arief (2009) menyatakan bahwa pada kasus WSD  sampai dengan 6,3 per 100.000 tiap tahun sebanyak 5% pasien meninggal karena tidak sempat dilakukan  pemasangan WSD dan tingkat rata – ratanya 40 % sampai dengan 60% pertahun.
     Menurut hasil pemantauan penulis pada ruangan yang menangani masalah pada saluran pernapasan dan sering dilakukan tindakan pemasangan WSD dapat dilihat pada tabel berikut :


Tabel 1.1. Data Pasien yang Dilakukan Tindakan Pemasangan WSD di  RSUD
     Ulin Banjarmasin, Periode Januari Sampai dengan Desember 2009.

No
Ruang
Jumlah Pasien
Pneumothorax
Hematothorax
Efusi pleura
Empiema
1
Dahlia
32
10
-
16
6
2
Nusa Indah
31
4
27
-
-
3
Melati
5
1
-
3
1
4
Mawar
4
2
-
2
-
5
WK
2
1
-
1
-
6
Anggrek
4
1
-
3
-
7
ICU
4
1
1
2
-
8
Aster
4
1
2
1
-
9
Asoka
4
1
1
2
-

Jumlah
90
22
31
30
7
Sumber IRNA RSUD Ulin Banjarmasin Januari-Desember 2009

     Dari data tabel tersebut terlihat bahwa rata-rata pasien yang dilakukan pemasangan WSD di  RSUD Ulin Banjarmasin selama tahun 2009 adalah 90 pasien atau 7 pasien perbulan, juga terlihat gambaran bahwa pasien yang paling banyak dilakukan tindakan pemasangan selang WSD di RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009 adalah di Ruang Dahlia sebanyak 32 orang dan Ruang Nusa Indah sebanyak 31 orang. Hal ini dikarenakan tindakan pemasangan selang WSD di Ruang Dahlia kebanyakan karena disebabkan oleh berbagai penyakit pada saluran pernapasan seperti TB Paru, kanker paru dan empiema. Sedangkan di Ruang Nusa Indah tindakan pemasangan selang WSD disebabkan karena adanya trauma tajam dan trauma tumpul thoraks seperti pada kasus luka tusuk dan kasus kecelakaan lalu lintas. Untuk  ruang kelas dan VIP juga melakukan perawatan pasien yang dilakukan tindakan pemasangan selang WSD karena pasien memang menginginkan dirawat di ruangan tersebut dengan alasan ekonomi dan status kepegawaian.
   Dari studi pendahuluan yang penulis lakukan pada 90 pasien yang dilakukan perawatan WSD selama tahun 2009, dilihat dari kasus yang dirawat pada kasus pneumothoraks tercatat dua orang pasien dilepas selang WSD pada hari ke 9 yang idealnya pelepasan WSD pada pneumotoraks maksimal dilepas pada hari ke-7 (Muttaqin, 2008: 236). Kemudian pada pasien Efusi Pleura dengan pemasangan WSD, terdapat tiga orang pasien dilaporkan mengalami infeksi luka pada sisi selang WSD yang idealnya kondisi luka WSD selama perawatan tidak mengalami infeksi. Selanjutnya pada tiga orang pasien Empiema dengan pemasangan WSD dilaporkan pemasangan WSD dilakukan lebih dari 2 minggu yang idealnya pemasangan tersebut maksimal adalah 10 hari. Adanya data-data di atas memberikan dampak masalah belum optimalnya perawatan WSD yang diberikan oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin. Menurut studi yang penulis lakukan, belum optimalnya perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin disebabkan oleh karena tidak seragamnya kemampuan perawat di beberapa ruangan yang merawat pasien dengan pemasangan WSD, dimana perawat hanya melakukan perawatan terhadap lukanya saja tanpa memperhatikan perawatan selang dan botol WSD. Perawat juga jarang melakukan observasi apakah paru yang kolaps sudah ekspansi kembali dan tidak bisa menentukan kapan selang WSD akan di lepas. Dampak dari perawatan yang tidak optimal ini adalah paru yang kolaps ekspansinya menjadi lambat, kecendrungan terjadi infeksi juga semakin besar, hari rawat akan semakin panjang dan akan menambah biaya pengobatan dan perawatan.
Melihat kondisi tersebut peneliti tertarik untuk meneliti tentang gambaran pelaksanaan perawatan WSD terhadap penyakit paru oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin  yang memiliki kasus tindakan pemasangan selang WSD .
     Sedangkan data perawat ruangan di Rumah Sakit Umum Ulin Banjarmasin berdasarkan pendidikan, masa kerja, jenis kelamin dan umur adalah sebagai berikut :


Tabel 1.2. Data Perawat Ruangan di RSUD Ulin Banjarmasin      Berdasarkan Pendidikan       
Ruang
Jumlah Perawat
Pendidikan
Jumlah
Persen
Dahlia
14
SPK
2
14
DIII Keperawatan
9
64
DIV / S1 Keperawatan
3
22
Nusa Indah
22
SPK
2
9
DIII Keperawatan
15
68
DIV / S1 Keperawatan
5
23
Melati
15
SPK
3
20
DIII Keperawatan
11
73
DIV / S1 Keperawatan
1
7
Mawar
13
SPK
2
15
DIII Keperawatan
9
70
DIV / S1 Keperawatan
2
15
Wijaya Kusuma
15
SPK
3
20
DIII Keperawatan
10
67
DIV / S1 Keperawatan
2
13
Anggrek
22
SPK
2
9
DIII Keperawatan
18
82
DIV / S1 Keperawatan
2
9
ICU
32
SPK
3
9
DIII Keperawatan
23
72
DIV / S1 Keperawatan
6
19
Aster
24
SPK
1
4
DIII Keperawatan
18
75
DIV / S1 Keperawatan
5
21
Asoka
13
SPK
DIII Keperawatan
DIV / S1 Keperawatan
4
7
2
31
54
15
Jumlah Perawat Berdasarkan Pendidikan
170
SPK
22
13
DIII Keperawatan
120
71
DIV/S1 Keperawatan
28
16
 Sumber IRNA RSUD Ulin Banjarmasin Mei 2010


  
      Tabel 1.3. Data Perawat Ruangan di RSUD Ulin Banjarmasin Berdasarkan Masa  Kerja
Ruang
Jumlah Perawat
Masa kerja
Jumlah
Persen
Dahlia
14
< 1 Tahun
3
21
1 – 2 Tahun
2
14
3 – 5 Tahun
3
21
> 5 Tahun
6
45
Nusa indah
22
< 1 Tahun
1
5
1 – 2 Tahun
9
41
3 – 5 Tahun
8
36
> 5 Tahun
4
18
Melati
15
< 1 Tahun
1
7
1 – 2 Tahun
6
40
3 – 5 Tahun
6
40
> 5 Tahun
2
13
Mawar
13
< 1 Tahun
1
8
1 – 2 Tahun
-
0
3 – 5 Tahun
11
84
> 5 Tahun
1
8
Wijaya Kusuma
15
< 1 Tahun
2
13
1 – 2 Tahun
4
27
3 – 5 Tahun
5
31
> 5 Tahun
4
27
Anggrek
22
< 1 Tahun
2
9
1 – 2 Tahun
13
59
3 – 5 Tahun
2
9
> 5 Tahun
5
23
ICU
32
< 1 Tahun
2
6
1 – 2 Tahun
11
34
3 – 5 Tahun
13
41
> 5 Tahun
6
19
Aster
24
< 1 Tahun
2
8
1 – 2 Tahun
6
25
3 – 5 Tahun
10
42
> 5 Tahun
6
25
Asoka
13
< 1 Tahun
1
8
1 – 2 Tahun
1
8
3 – 5 Tahun
9
69
> 5 Tahun
2
15
Jumlah Perawat Berdasarkan Masa Kerja
170
< 1 Tahun
16
9
1 – 2 Tahun
55
33
3 – 5 Tahun
63
37
> 5 Tahun
36
21
   Sumber IRNA RSUD Ulin Banjarmasin Mei 2010
Tabel 1.4.  Data Perawat Ruangan di RSUD Ulin Banjarmasin Berdasarkan   Jenis  Kelamin

Ruang
Jumlah Perawat
Jenis kelamin
Jumlah
Persen
Dahlia
14
Laki – Laki
8
57
Perempuan
6
43
Nusa Indah
22
Laki – Laki
7
32
Perempuan
15
68
Melati
15
Laki – Laki
3
20
Perempuan
12
80
Mawar
13
Laki – Laki
4
31
Perempuan
9
69
Wijaya Kusuma
15
Laki – Laki
5
33
Perempuan
10
67
Anggrek
22
Laki – Laki
7
32
Perempuan
15
68
ICU
32
Laki – Laki
9
28
Perempuan
23
72
Aster
24
Laki – Laki
9
37.5
Perempuan
15
62.5
Asoka
13
Laki – Laki
4
31
Perempuan
9
69
Jumlah Perawat Berdasarkan Jenis Kelamin
170
Laki – Laki
56
33
Perempuan
114
67
    Sumber IRNA RSUD Ulin Banjarmasin Mei 2010





Tabel 1.4.   Data Perawat Ruangan di RSUD Ulin Banjarmasin Berdasarkan Umur

Ruang
Jumlah Perawat
Masa kerja
Jumlah
Persen
Dahlia
14
< 25 Tahun
8
43
26 – 35 Tahun
3
36
> 35 Tahun
3
21
Nusa indah
22
< 25 Tahun
5
23
26 – 35 Tahun
14
64
> 35 Tahun
3
13
Melati
15
< 25 Tahun
-
0
26 – 35 Tahun
14
93
> 35 Tahun
1
7
Mawar
13
< 25 Tahun
1
8
26 – 35 Tahun
11
84
> 35 Tahun
1
8
Wijaya Kusuma
15
< 25 Tahun
3
20
26 – 35 Tahun
10
67
> 35 Tahun
2
13
Anggrek
22
< 25 Tahun
12
55
26 – 35 Tahun
7
32
> 35 Tahun
3
13
ICU
32
< 25 Tahun
8
25
26 – 35 Tahun
20
62.5
> 35 Tahun
4
12.5
Aster
24
< 25 Tahun
4
17
26 – 35 Tahun
13
54
> 35 Tahun
7
29
Asoka
13
< 25 Tahun
5
38
26 – 35 Tahun
6
46
> 35 Tahun
2
16
Jumlah Perawat Berdasarkan Umur
170
< 25 Tahun
46
27
26 – 35 Tahun
98
58
> 35 Tahun
26
15
Sumber IRNA RSUD Ulin Banjarmasin Mei 2010



     Selama ini belum jelas terlihat  gambaran pelaksanaan perawatan WSD, apakah pelaksanaannya  sudah sesuai dengan standar operasional prosedur. Melihat kondisi ini peneliti ingin mengetahui bagaimanakah Gambaran Pelaksanaan Perawatan WSD Terhadap Penyakit Paru oleh Perawat di RSUD Ulin Banjarmasin 2010

B.  Rumusan Masalah
     Rumusan masalah yang ingin peneliti kemukakan pada skripsi ini adalah “Belum Diketahuinya Gambaran Pelaksanaan Perawatan Water Seal Drainage Terhadap Penyakit Paru oleh Perawat di RSUD Ulin Banjarmasin  2010 ?”
C.  Tujuan Penelitian
1.      Tujuan Umum

          Untuk mengetahui Gambaran Pelaksanaan Perawatan Water Seal Drainage Terhadap Penyakit Paru oleh Perawat di RSUD Ulin Banjarmasin 2010.
2.      Tujuan Khusus
a.       Untuk mengetahui persiapan pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin 2010
b.      Untuk mengetahui pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin 2010
c.       Untuk mengetahui evaluasi pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin 2010.
D.  Manfaat Penelitian
1.      Bagi Komite Keperawatan RSUD Ulin Banjarmasin
a.       Sebagai masukan dan sebagai dasar evaluasi serta sebagai bahan audit tentang efektifitas pelaksanaan perawatan WSD.
b.      Sebagai panduan dasar untuk menyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) pelaksanaan perawatan WSD
2.   Bagi Pasien
Mendapatkan pelayanan yang profesional
3.   Bagi Peneliti
Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan S1 Keperawatan pada STIK Muhammadiyah Banjarmasin.
4.   Bagi institusi pendidikan
Sebagai masukan dalam memberikan pengetahuan kepada mahasiswa terkait dengan pelaksanaan  perawatan WSD.

E.  Keaslian Penelitian
     Sukrisno, A (2007) dari PSIK Unair dengan penelitian Pengaruh Latihan Napas Modifikasi Meniup Balon Terhadap Pengembangan Paru Pada Pasien Hematothoraks dan Pneumothoraks. (Journal Ners, 2007: 7). Dengan kesimpulan Latihan Napas Modifikasi Meniup Balon yang dilakukan pada pasien dengan hematothoraks dan pneumothoraks berpengaruh terhadap pengembangan fungsi paru yang ditunjukkan dengan penurunan frekuensi pernapasan dan peningkatan vital capacity. Perbedaan penelitian Sukrisno, A. (2007) dengan penelitian ini adalah Sukrisno, A. menggunakan quasy eksprimen sedangkan pada penelitian ini adalah  design deskriptif  tentang Pelaksanaan  Perawatan WSD. Variabel yang digunakan Sukrisno, A. (2007) adalah  Latihan Napas Modifikasi Meniup Balon dan  Pengembangan Paru, sedangkan pada penelitian ini menggunakan variabel  Persiapan, Pelaksanaan dan Evaluasi Perawatan WSD.

















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

            Pada bab ini diuraikan tentang konsep fisiologi sistem pernapasan, konsep WSD, konsep perawatan WSD dan konsep luka dan perawatan luka.

A.     Konsep Anatomi Fisiologi Pernapasan
   ”Sistem pernapasan dapat disebut juga dengan sistem respirasi yang berarti bernapas kembali. Sistem ini berperan menyediakan oksigen (O2) yang diambil dari atmosfir dan mengeluarkan karbon dioksida (CO2) dari sel-sel (tubuh) menuju ke udara bebas” (Muttaqin, A. 2008: 24). Proses bernapas berlangsung dalam beberapa langkah dan berlangsung dengan dukungan sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskuler. Pada dasarnya sistem pernapasan terdiri atas rangkaian saluran udara yang menghantarkan udara luar agar dapat bersentuhan dengan membran kapiler alveoli yang memisahkan antara sistem pernapasan dan sistem kardiovaskuler. Fungsi utama paru adalah sebagai tempat pertukaran gas, dalam konteks ini maka fisiologi sistem pernapasan dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu fungsi ventilasi, perfusi dan  pertukaran gas.
1.      Ventilasi Paru
“Yaitu udara bergerak masuk dan keluar dari paru-paru dikarenakan adanya selisih tekanan udara di atmosfir dan alveolus dan di dukung oleh kerja mekanik otot-otot” (Soemantri I. 2008: 12). Dalam hal ini dinding thorax berfungsi sebagai hembusan. Selama inspirasi volume thorax bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot, seperti otot sternokleidomastoideus yang mengangkat sternum ke atas serta otot serratus, otot scalenus dan otot intercostalis eksternus berperan mengangkat iga, sedangkan otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum atas. “Fungsi ventilasi atau paru-paru adalah mengukur kemampuan dada dan paru-paru untuk menggerakan udara masuk dan keluar alveoli” (Hudak & Gallo, 1997: 452).
Mekanisme ventelasi adalah dimulai dari proses inspirasi. Selama inspirasi, udara bergerak dari luar ke dalam trachea, bronchus, bronchiulus dan alveoli. Selama ekspirasi, gas gas yang terdapat dalam alveolus prosesnya berjalan seperti inspirasi dengan alur terbalik. Faktor fisik yang mempengaruhi keluar masuknya udara dari dan ke paru-paru merupakan gabungan dari ventilasi mekanik yang terdiri atas :
a.   Perbedaan Tekanan Udara
    Udara mengalir dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Selama inspirasi, pergerakan diafragma dan otot bantu pernapasan lainnya memperluas ringga dada, sehingga menurunkan tekanan dalam rongga sampai di bawah tekanan atmosfir. Hal ini menyebabkan udara tertarik melalui trachea dan bronchus lalu masuk ke dalam alveoli.
b.   Resistensi Jalan Udara
    Peningkatan tekanan dari cabang bronchus dan adanya benda asing dalam saluran napas mengakibatkan udara terhambat masuk ke dalam alveolus.
c.   Komplian Paru-paru
    Adalah kemampuan paru-paru untuk mengembang dan mengempis. Pada saat inspirasi paru-paru mengembang dan saat ekspirasi paru-paru mengempis.
2.      Perfusi Paru
“Sirkulasi paru-paru memberikan darah vena campuran yang dikeluarkan ventikel kanan jantung memberikan kesempatan untuk pertukaran gas sebelum kembali ke atrium kanan. Sirkulasi paru-paru unuk dan berbeda dari organ khusus sirkulasi lain” (Hudak & Gallo, 1997: 456).
               Di banding dengan tekanan sistemik, tekanan intrapulmonal lebih rendah. Pada sirkulasi pulmonal systole/diastole = 25/8 m mmHg atau kurang lebih enam kali lebih kecil daripada sirkulasi sistemik. Karena tekanan yang rendah ini maka efek hidrostatiknya menjadi penting. Selain itu ada perbedaan yang nyata antara apek dan basal paru pada keadaan berdiri.
               Pertukaran gas paru selain dipengaruhi oleh ventelasi juga dipengaruhi oleh perfusi paru itu sendiri. Ketidakseimbangan antara ventelasi dan perfusi akan mempengaruhi pertukaran gas. Dalam hubungan antara ventelasi dan perfusi kebanyakan penyakit respirasi mengalami ketidakseimbangan.                   
3.      Pertukaran Gas/Difusi
Pertukaran gas atau yang sering disebut difusi. Pada tahap ini proses respirasi mencakup proses gas-gas melintasi membrane antara alveolus-kapiler yang tipis, yakni kurang dari 0,5 mm. “Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara gas dan fase gas. Tekanan O2 dalam atmosfer sama dengan tekanan laut yakni kurang lebih 149 mmHg atau dari 760 mmHg” (Somantri, I. 2008: 13).
Menurut Hudak & Gallo (1997: 467) pertukaran gas yang paling penting adalah masuknya oksigen dan dikeluarkannya karbondioksida. Faktor-faktor yang menentukan kecepatan difusi gas melalui membrane paru-paru adalah :
a.       Makin besar perbedaan tekanan pada membrane, makin cepat kecepatan difusi
b.      Makin besar area membrane paru-paru makin besar kualitas gas yang dapat berdifusi melewati membrane dalam waktu tertentu.
c.       Makin tipis membrane, makin cepat difusi gas melalui membrane tersebut ke bagian yang berlawanan.
d.      Koefisien difusi secara langsung proporsional terhadap kemampuan terlarut dari ngas dalam cairan membrane paru-paru dan kebalikannya terhadap ukuran molekul. Namun demikian molekul kecil yang berdifusi tinggi lebih cepat daripada besarnya ukuran gas yang kurang dapat larut.
Koefisien difusi :
1).  Oksigen : 1
2).  Karbondioksida : 20.3
3).  Nitrogen : 0,53.
                  Tekanan parsial oksigen dalam atmosfer pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg (21 % dari 760 mmHg). Pada waktu oksigen di inspirasi dan sampai alveolus maka tekanan parsial ini mengalami penurunan sampai sekitar 103 mmHg. Penurunan ini disebabkan tercampurnya udara dalam ruang rugi anatomis saluran napas. Ruang rugi ini volumenya sekitar 1 ml udara per pound atau sekitar 150 ml untuk dewasa normal. Tekanan parsial oksigen dalam kapiler paru-paru sebesar 40 mmHg. Karena perbedaan tekanan parsial ini maka oksigen dengan mudah berdifusi dalam aliran darah. Demikian sebaliknya dengan keluarnya CO2. Selisih tekanan CO2 antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah (6 mmHg) menyebabkan karbondioksida berdifusi  ke dalam alveolus.
                  Dari fisiologi sistem pernapasan ini maka dapat disimpulkanbahwa ketiga faktor tersebut di atas sangat menentukan keefektifan sistem jalan napas.

Adapun refleks pernapasan terbagi atas dua jenis yaitu :
1.      Refleks Batuk (cough)
Saluran pernapasan memiliki bagian yang sangat peka terhadap rangsang. Bagian tersebut adalah laring, trachea, dan bronchus sangat peka terhadap perabaan (light touch), sedangkan bronchus terminalis dan alveoli peka terhadap rangsang kimiawi.
Mekanisme terjadinya refleks batuk dimulai dari terangsangnya bagian-bagian yang peka pada saluran pernapasan. Rangsang ditangkap oleh sensor taktil dan kemoreseptor aferen melalui nervous vagus menuju pusat pernapasan (medulla oblongata), misal rangsang yang berupa benda asing yang memasuki saluran pernapasan bawah. Selanjutnya pusat pernapasan memerintahkan tubuh untuk melakukan refleks batuk agar benda asing tersebut dapat dikeluarkan. Tubuh merespons dengan menginspirasi udara ke paru-paru, menutup glotis oleh epiglotis, menutup pita suara agar udara inspirasi tertahan di dalam paru-paru. Udara yang tertahan menimbulkan tekanan dalam alveolus sehingga otot-otot abdomen dan interkostalis interna berkontraksi dengan kuat lalu secara mendadak terjadilah ekspirasi. Ekspirasi yang kuat mendadak membuat epiglottis dan pita suara terbuka yang menyebabkan udara dengan cepat melewati bronkus besar dan trakhea sehingga benda-benda asing keluar.

2Refleks Bersin (sneeze)
Berbeda dengan refleks batuk, rangsang yang ada ditangkap oleh reseptor taktil di hidung. Rangsang kemudian diteruskan ke nervous trigeminus dan dilanjutkan ke pusat pernapasan di medulla oblongata.
Urutan mekanisme refleks sama dengan mekanisme refleks batuk, namun pada refleks bersin uvula dikondisikan ke bawah, sehingga memungkinkan aliran udara ekspirasi menjadi kuat dan dapat melalui rongga mulut dan rongga hidung. Refleks besin bermanfaat untuk mengluarkan benda asing yang masuk rongga hidung atau saluran pernapasan bagian bawah.

B.  Konsep Water Seal Drainage (WSD)
1.   Pengertian
WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura dengan menggunakan pipa penghubung.

Gambar 2. 1   Pemasangan Selang WSD
2.  Tujuan
a.       Mengalirkan/drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk                            mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut.
Gambar 2. 2   Drainage Udara Atau Cairan Dari Rongga Pleura
b.      Mengembangkan kembali paru yang kolaps
c.       Memasukkan obat ke dalam rongga pleura.

3.      Perubahan Tekanan Rongga Pleura
Tekanan
Istirahat
Inspirasi
Ekspirasi
Atmosfir
760
760
760
Intrapulmoner
760
757
763
Intrapleural
756
750
756

4.  Indikasi Pemasangan WSD
a.      Hematotoraks
b.      Efusi pleura dengan keganasan
c.      Pneumotoraks lebih dari 20 %
d.      Hidropneumothoraks
e.      Empiema   
                                   
Gambar 2. 3   Pneumotoraks


Gambar 2.4   Gambaran Radiologis Pneumotoraks
Gambar 2. 5   Efusi Pleura/Empiema/Hematotoraks
Gambar 2. 6   Gambaran Radiologis Efusi Pleura

5.  Kontra Indikasi Pemasangan WSD
a.       Hematothoraks masif yang belum mendapat penggantian cairan/darah
b.      Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol
c.       Perlekatan pleura yang luas.

6.  Tempat Pemasangan WSD
a.  Bagian Apex paru
Yaitu pada anterolateral intercosta 1-2 yang berfungsi untuk  mengeluarkan udara dari rongga pleura.
b.  Bagian Basal
Yaitu pada posterolateral intercosta ke 8-9 yang berfungsi untuk mengeluarkan cairan (darah, pus) dari rongga pleura.

7.  Jenis-jenis WSD
a.  WSD dengan sistem satu botol
Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple pneumothoraks. Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2 lubang selang yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam botol. Air steril dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang terendam dua cm untuk mencegah masuknya udara ke dalam tabung yang menyebabkan kolaps paru. Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi udara dari rongga pleura keluar. Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan gravitasi. Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan.

b.  WSD dengan sistem dua botol
  Digunakan dua botol,  satu botol mengumpulkan cairan drainage dan botol kedua sebagai  water seal. Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang awalnya kosong dan hampa udara, selang pendek pada botol 1 dihubungkan dengan selang di botol 2 yang berisi water seal. Cairan drainase dari rongga pleura masuk ke botol 1 dan udara dari rongga pleura masuk ke water seal botol 2. Prinsip kerjasama dengan sistem satu botol yaitu udara dan cairan mengalir dari rongga pleura ke botol WSD dan udara dipompakan keluar melalui selang masuk ke WSD. Bisasanya digunakan untuk mengatasi hemotothoraks, hemopneumothoraks dan efusi peura.


c.  WSD dengan sistem tiga botol
  Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol jumlah hisapan yang digunakan. Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan. Yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ke-3. Jumlah hisapan tergantung pada kedalaman ujung selang yang tertanam dalam air botol WSD.  Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang ditambahkan. Botol ke-3 mempunyai 3 selang yaitu tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan tube pada botol ke dua,  tube pendek lain dihubungkan dengan suction dan tube di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air dan terbuka ke atmosfer.
Gambar 2. 7   Botol WSD
Gambar 2. 8   Suction Continous WSD
8.  Komplikasi Pemasangan WSD
a.       Laserasi, mencederai organ (hepar, lien)
b.      Perdarahan
c.       Empisema Subkutis
d.      Tube terlepas
e.       Infeksi
f.        Tube tersumbat

9.  Persiapan Pemasangan WSD
a.  Pengkajian
1)      Memeriksa kembali instruksi dokter
2)      Mencek inform consent
3)      Mengkaji tanda-tanda vital dan status pernapasan pasien.
b.  Persiapan Pasien
1)      Siapkan pasien
2)      Memberi penjelasan kepada pasien meliputi :
a)      Tujuan tindakan
b)      Posisi tubuh saat tindakan dan selama terpasang WSD,   posisi klien dapat duduk atau berbaring
c)      Upaya-upaya untuk mengurangi rangsangan nyeri seperti  nafas dalam dan distraksi
d)      Foto thoraks posterior-anterior dan lateral paru.

c.   Persiapan alat dan bahan meliputi :
1)      Trokar atau kateter toraks dengan nomor yang disesuaikan dengan    bahan yang akan dialirkan, untuk udara nomor 18-20 dan untuk pus nomor 22-24.
2)      Kasa steril
3)      Plester
4)      Alkohol 70% dan bethadin 10%
5)      Spuit 5 cc sebanyak 2 buah
6)      Lidocain solusio injeksi untuk anestesi local sebanyak 5 ampul
7)      Botol WSD
8)      Satu buah meja dengan satu set bedah minor
9)       Duk steril
10.   Prosedur Tindakan
a.        Posisi pasien dengan sisi yang sakit menghadap ke arah dokter     dengan disandarkan pada kemiringan 30o-60o, tangan sisi paru yang sakit diangkat ke atas kepala
b.        Lakukan tindakan antiseptic menggunakan bethadin 10% dilanjutkan dengan menggunakan alkohol 70% dengan gerakan berputar ke arah luar, pasang duk steril dengan lubang tempat di mana akan dilakukan insersi kateter
c.        Lakukan anestesi lokal lapis demi lapis dari kulit hingga pleura parietalais menggunakan lidocain solusio injeksi, jangan lupa melakukan aspirasi sebelum mengeluarkan obat pada setiap lapisan. Anestesi dilakukan pada daerah yang akan di pasang WSD atau pada intercostalis 4-5 anterior dari mid axillary line
d.        Langsung lakukan punksi percobaan menggunakan spuit anestesi tersebut
e.        Lakukan sayatan pada kulit memanjang sejajar intercostalis lebih kurang 1 cm lalu buka secara tumpul sampai ke pleura
f.          Disiapkan jahitan matras mengelilingi kateter
g.        Satu tangan mendorong trokar dan tangan lainnya memfiksir trokar untuk membatasi masuknya alat ke dalam rongga pleura. Setelah trokar masuk ke dalam rongga pleura, stilet dicabut dan lubang trokar di tutup dengan ibu jari. Kateter yang sudah diklem pada ujung distalnya di insersi secara cepat melelui trokar ke dalam rongga pleura. Kateter diarahkan ke anteroapikal pada pneumothoraks dan posterobasal pada cairan pleura/empiema. Trokar dilepas pada dinding dada. Kateter bagian distal dilepas dan trokar dikeluarkan
h.        Setelah trokar ditarik, hubungkan kateter dengan selang dan masukkan ujung selang ke dalam botol WSD yang telah diberi larutan bethadin yang telah diencerkan dengan NaCl 0,9% dan pastikan ujung selang terendam sepanjang dua cm
i.          Perhatikan adanya undulasi pada selang penghubung dan terdapat cairan, darah dan pus yang dialirkan atau gelembung udara pada botol WSD.
j.          Fiksasi kateter dengan jahitan tabbac sac, lalu tutup dengan kasa steril yang telah di beri bethadin dan fiksasi ke dinding dada dengan plester. (Standar Diagnosis & Terapi Gawat Darurat, 2007:  70-72)

  11.  Pedoman pencabutan

a.    Kriteria pencabutan :
1)      Sekrit serous, tidak hemoraged
2)      Dewasa : jumlah kurang dari 100cc/24jam
3)      Anak – anak : jumlah kurang 25-50cc/24jam
4)      Paru mengembang dengan tanda :
a)      Auskultasi suara napas vesikuler kiri dan kanan
b)      Perkusi bunyi sonor kiri dan kanan
c)      Fibrasi simetris kiri dan kanan
d)      Foto toraks paru yang sakit sudah mengembang
b.        Kondisi :
1)      Pada trauma
Hemato/pneumothorak yang sudah memenuhi kedua kriteria,   langsung dicabut dengan cara air-tight (kedap udara).
2)      Pada thoracotomi
Infeksi : klem dahulu 24 jam untuk mencegah resufflasi, bila baik cabut
3)      Post operatif : bila memenuhi kedua kriteria, langsug di cabut (air-tight)
4)      Post pneumonektomi : hari ketiga bila mediastinum stabil (tak perlu air-tight).
c.        Alternatif
1)      Paru tetap kolaps, hisap sampai 25 cmH20
2)      Bila kedua krieria dipenuhi, klem dahulu 24 jam, tetap baik lakukan  pencabutan.
3)      Bila tidak berhasil, tunggu sampai dua minggu, lakukan  dekortikasi
4)      Sekret lebih dari 200cc/24jam : curiga adanya Chylo toraks (pastikan dengan pemeriksaan laboratorium), pertahankan sampai dengan empat minggu, bila tidak berhasil  dilakukan toracotomi
5)      Bila sekret kurang dari 100cc/24jam, klem, kemudian dicabut. 

C.     Konsep Perawatan WSD
  1. Persiapan Alat :
a.       Satu buah meja dengan satu set bedah minor
b.      Botol WSD berisi  larutan bethadin yang telah diencerkan      dengan NaCl 0,9% dan  ujung selang terendam sepanjang dua cm.
c.       Kasa steril dalam tromol
d.      Korentang
e.       Plester dan gunting
f.        Nierbekken/kantong balutan kotor
g.       Alkohol 70%
h.       Bethadin 10%
i.         Handscoon steril

2.  Persiapan Pasien dan Lingkungan
a.       Pasien dan keluarga diberikan penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan
b.      Memasang sampiran disekeliling tempat tidur
c.       Membebaskan pakaian pasien bagian atas
d.      Mengatur posisi setengah duduk atau sesuai kemampuan pasien
e.       Alat-alat didekatkan ke tempat tidur pasien.
3.  Pelaksanaan Perawatan WSD
a.       Perawat mencuci tangan, kemudian memasang handscoon
b.      Membuka set bedah minor steril
c.       Membuka balutan dengan menggunakan pinset secara hati-hati,    balutan kotor dimasukkan ke dalam nierbekken
d.      Mendisinfeksi luka dan selang dengan kasa alkohol 70% kemudian dengan bethadin 10%
e.       Menutup luka dengan kasa steril yang sudah dipotong tengahnya   kemudian diplester
f.        Selang WSD diklem
g.       Melepaskan sambungan antara selang WSD dengan selang botol
h.       Ujung selang WSD dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian selang WSD dihubungkan dengan selang penyambung botol WSD yang baru
i.         Klem selang WSD dibuka
j.        Anjurkan pasien untuk menarik napas dalam dan bimbing pasien cara batuk efektif
k.      Latih dan anjurkan pasien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan gerak pada persendian bahu daerah pemasangan WSD
l.         Merapikan pakaian pasien dan lingkungannya, kemudian membantu pasien dalam posisi yang paling nyaman
m.     Membersihkan alat-alat dan botol WSD yang kotor, kemudian di sterilisasi kembali
n.       Membuka handscoon dan mencuci tangan
o.      Menulis prosedur yang telah dilakukan pada catatan perawatan.
4.      Evaluasi Pelaksanaan Perawatan WSD
Evaluasi pelaksanaan perawatan WSD meliputi :
a.       Evaluasi keadaan umum :
1)      Observasi keluhan pasien
2)      Observasi gejala sianosis
3)      Observasi tanda perdarahan dan rasa tertekan pada dada
4)      Observasi apakah ada krepitasi pada kulit sekitar selang WSD
5)      Observasi tanda-tanda vital.
            b.  Evaluasi ekspansi paru meliputi :
1)      Melakukan pemeriksaan Inspeksi paru setelah selesai melakukan perawatan WSD
2)      Melakukan pemeriksaan Palpasi  paru setelah selesai melakukan perawatan WSD
3)      Melakukan pemeriksaan Perkusi paru setelah selesai melakukan perawatan WSD
4)      Melakukan pemeriksaan Auskultasi paru setelah selesai melakukan perawatan WSD
5)      Foto thoraks setelah dilakukan pemasangan selang WSD dan  sebelum selang WSD di lepas.
c.  Evaluasi WSD meliputi :
1)      Observasi undulasi pada selang WSD
2)      Observasi fungsi suction countinous
3)      Observasi apakah selang WSD tersumbat atau terlipat
4)      Catat jumlah cairan yang keluar dari botol WSD
5)      Pertahankan ujung selang dalam botol WSD agar selalu berada 2  cm di bawah air
6)      Pertahankan agar botol WSD selalu lebih rendah dari tubuh
7)      Ganti botol WSD setiap hari atau bila sudah penuh. (Pedoman Keterampilan Praktik Klinik Keperawatan. 2005: 49-50).





D.  Konsep Luka dan Perawatan Luka
1.  Pengertian Luka
”Luka adalah keadaan hilang/terputusnya kontinuitas jaringan” (Mansjoer, 2000: 396). Menurut InETNA, luka adalah sebuah injuri pada jaringan yang mengganggu proses selular normal, luka dapat juga dijabarkan dengan adanya kerusakan pada kuntinuitas/kesatuan jaringan tubuh yang biasanya disertai dengan kehilangan substansi jaringan.
2.   Klasifikasi Luka
Luka dibedakan berdasarkan :
a.   Berdasarkan penyebab terdiri atas :
1)      Ekskoriasi atau luka lecet
2)      Vulnus scisum atau luka sayat
3)      Vulnus laseratum atau luka robek
4)      Vulnus punctum atau luka tusuk
5)      Vulnus morsum atau luka karena gigitan binatang
6)      Vulnus combotio atau luka bakar
b.      Berdasarkan ada/tidaknya kehilangan jaringan
1)      Ekskoriasi
2)      Skin avulsion
3)      Skin loss
c.       Berdasarkan derajat kontaminasi terdiri atas :
1)      Luka bersih
(a)    Luka sayat elektif
(1)  Steril, potensial terinfeksi
(2) Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus   respiratorius, traktus elimentarius, traktus genitourinarius.
2)   Luka bersih tercemar
(a)    Luka sayat elektif
(b)    Potensi terinfeksi : spillage minimal, flora normal
(c) Kontak dengan orofaring, respiratorius, elimentarius dan genitourinarius
(d)    Proses penyembuhan lebih lama.
3)    Luka tercemar
(a)  Potensi terinfeksi: spillage dari traktus elimentarius, kandung empedu, traktus genito urinarius, urine
(b)   Luka trauma baru : laserasi, fraktur terbuka, luka penetrasi.
4)    Luka kotor
(a)   Akibat proses pembedahan yang sangat terkontaminasi
(b)   Perforasi visera, abses, trauma lama.
3.  Tipe Penyembuhan Luka
  Terdapat tiga macam tipe penyembuhan luka, di mana pembagian ini dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang hilang,  yaitu :
a.       Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu penyembuhan yang terjadi segera setelah diusahakan bertautnya tepi luka biasanya dengan jahitan.
b.      Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan primer. Tipe ini dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar. Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka.
c.       Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhan luka yang terakhir (Mansjoer, 2000: 397 ; InETNA, 2004: 4).
4.   Fase Penyembuhan Luka
              Proses penyembuhan luka memiliki tiga fase yaitu fase inflamasi, proliferasi dan maturasi. Antara satu fase dengan fase yang lain merupakan suatu kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan, terdiri atas :
a.       Fase Inflamasi
   Tahap ini muncul segera setelah injuri dan dapat berlanjut sampai lima hari. Inflamasi berfungsi untuk mengontrol perdarahan, mencegah invasi bakteri, menghilangkan debris dari jaringan yang luka dan mempersiapkan proses penyembuhan lanjutan.
b.   Fase Proliferasi
         Tahap ini berlangsung dari hari ke-6 sampai dengan 3 minggu. Fibroblast (sel jaringan penyambung) memiliki peran yang besar dalam fase proliferasi.
c.   Fase Maturasi
         Tahap ini berlangsung mulai pada hari ke-21 dan dapat berlangsung sampai berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang. Dalam fase ini terdapat remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi vaskularitas luka (Mansjoer, 2000: 397 ; InETNA, 2004: 1).
5.  Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
         Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis karena merupakan suatu kegiatan bioseluler dan biokimia yang terjadi saling berkesinambungan. Proses penyembuhan luka tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal saja pada luka, namun dipengaruhi pula oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik (InETNA, 2004: 13).
a.   Faktor Instrinsik adalah faktor dari penderita yang dapat berpengaruh dalam proses penyembuhan meliputi : usia, status nutrisi dan hidrasi, oksigenasi dan perfusi jaringan, status imunologi, dan penyakit penyerta (hipertensi, DM, Arthereosclerosis).
b.  Faktor Ekstrinsik adalah faktor yang didapat dari luar penderita yang dapat berpengaruh dalam proses penyembuhan luka, meliputi  pengobatan, radiasi, stres psikologis, infeksi, iskemia dan trauma jaringan (InETNA, 2004: 13).

6.  Komplikasi Penyembuhan Luka
Komplikasi dan penyembuhan luka timbul dalam manifestasi yang berbeda-beda. Komplikasi yang luas timbul dari pembersihan luka yang tidak adekuat, keterlambatan pembentukan jaringan granulasi, tidak adanya reepitalisasi dan juga akibat komplikasi postoperatif dan adanya infeksi. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah  hematoma, nekrosis jaringan lunak, dehiscence, keloids, formasi hipertropik scar dan juga infeksi luka (InETNA, 2004: 6).
7.  Penatalaksanaan/Perawatan Luka
            Dalam manajemen perawatan luka ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu evaluasi luka, tindakan antiseptik, pembersihan luka, penjahitan luka, penutupan luka, pembalutan, pemberian antiboitik dan pengangkatan jahitan.
a.       Evaluasi luka meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik (lokasi dan eksplorasi).
b.      Tindakan antiseptik, prinsipnya untuk mensucihamakan kulit. Untuk melakukan pencucian/pembersihan luka biasanya digunakan cairan atau larutan antiseptik seperti:
1)      Alkohol, sifatnya bakterisida kuat dan cepat (efektif dalam dua menit).
2)      Halogen dan senyawanya, antara lain :
a)      Yodium, merupakan antiseptik yang sangat kuat, berspektrum luas dan dalam konsentrasi 2% membunuh spora dalam 2-3 jam
b)     Povidon Yodium (Betadine, septadine dan isodine), merupakan kompleks yodium dengan polyvinylpirrolidone yang tidak merangsang, mudah dicuci karena larut dalam air dan stabil karena tidak menguap.
c)      Yodoform, sudah jarang digunakan. Penggunaan biasanya untuk antiseptik borok.
d)     Klorhesidin (Hibiscrub, savlon, hibitane), merupakan senyawa biguanid dengan sifat bakterisid dan fungisid, tidak berwarna, mudah larut dalam air, tidak merangsang kulit dam mukosa, dan baunya tidak menusuk hidung.
3)   Oksidansia
a)      Kalium permanganat, bersifat bakterisid dan funngisida agak lemah berdasarkan sifat oksidator.
b)     Perhidrol (Peroksida air, H2O2), berkhasiat untuk mengeluarkan kotoran dari dalam luka dan membunuh kuman anaerob.
4)   Logam berat dan garamnya
a)      Merkuri klorida (sublimat), berkhasiat menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur.
b)     Merkurokrom (obat merah)dalam larutan 5-10%. Sifatnya bakteriostatik lemah, mempercepat keringnya luka dengan cara merangsang timbulnya kerak (korts)
5)   Asam borat, sebagai bakteriostatik lemah (konsentrasi 3%).
6)   Derivat fenol
a)      Trinitrofenol (asam pikrat), kegunaannya sebagai antiseptik wajah dan genitalia eksterna sebelum operasi dan luka bakar.
b)     Heksaklorofan (pHisohex), berkhasiat untuk mencuci tangan.
c)      Basa ammonium kuartener, disebut juga etakridin (rivanol), merupakan turunan aridin dan berupa serbuk berwarna kuning dam konsentrasi 0,1%. Kegunaannya sebagai antiseptik borok bernanah, kompres dan irigasi luka terinfeksi (Mansjoer, 2000: 390).
    Dalam proses pencucian/pembersihan luka yang perlu diperhatikan adalah pemilihan cairan pencuci dan teknik pencucian luka. Penggunaan cairan pencuci yang tidak tepat akan menghambat pertumbuhan jaringan sehingga memperlama waktu rawat dan meningkatkan biaya perawatan. Pemelihan cairan dalam pencucian luka harus cairan yang efektif dan aman terhadap luka. Selain larutan antiseptik yang telah dijelaskan di atas ada cairan pencuci luka lain yang saat ini sering digunakan yaitu Normal Saline. Normal saline atau disebut juga NaCl 0,9%. Cairan ini merupakan cairan yang bersifat fisiologis, nontoksik dan tidak mahal. NaCl dalam setiap liternya mempunyai komposisi natrium klorida 9,0 g dengan osmolaritas 308 mOsm/l setara dengan ion-ion Na+ 154 mEq/l dan Cl- 154 mEq/l (InETNA, 2004: 16 ; ISO Indonesia, 2000: 18).

c.   Pembersihan Luka
                  Tujuan dilakukannya pembersihan luka adalah meningkatkan, memperbaiki dan mempercepat proses penyembuhan luka, menghindari terjadinya infeksi, membuang jaringan nekrosis dan debris (InETNA, 2004: 16). Beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam pembersihan luka yaitu :
1)      Irigasi dengan sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk  membuang jaringan mati dan benda asing.
2)      Hilangkan semua benda asing dan eksisi semua jaringan mati
3)      Berikan antiseptik
4)      Bila diperlukan tindakan ini dapat dilakukan dengan pemberian anastesi lokal
5)      Bila perlu lakukan penutupan luka (Mansjoer, 2000: 398-400).
d.   Penjahitan luka
   Luka bersih dan diyakini tidak mengalami infeksi serta berumur kurang dari delapan jam boleh dijahit primer, sedangkan luka yang terkontaminasi berat dan atau tidak berbatas tegas sebaiknya dibiarkan luka per sekundam atau per tertiam.
e.   Penutupan Luka 
Mengupayakan kondisi lingkungan yang baik pada luka sehingga proses penyembuhan berlangsung optimal.


f.    Pembalutan Luka
Pertimbangan dalam menutup dan membalut luka sangat tergantung pada penilaian kondisi luka. Pembalutan berfungsi sebagai pelindung terhadap penguapan, infeksi, mengupayakan lingkungan yang baik bagi luka dalam proses penyembuhan, sebagai fiksasi dan efek penekanan yang mencegah berkumpulnya rembesan darah yang menyebabkan hematom.
g.   Pemberian Antibiotik
Prinsipnya pada luka bersih tidak perlu diberikan antibiotik dan pada luka terkontaminasi atau kotor maka perlu diberikan antibiotik.
h.   Pengangkatan Jahitan
Jahitan diangkat bila fungsinya sudah tidak diperlukan lagi. Waktu pengangkatan jahitan tergantung dari berbagai faktor seperti, lokasi, jenis pengangkatan luka, usia, kesehatan, sikap penderita dan adanya infeksi (Mansjoer, 2000: 398 ; Walton, 1990: 44).
Tabel 2.1  Waktu Pengangkatan Jahitan
No
Lokasi
Waktu
1
Kelopak mata
3 hari
2
Pipi
3-5 hari
3
Hidung, dahi, leher
5 hari
4
Telinga,kulit kepala
5-7 hari
5
Lengan, tungkai, tangan,kaki
7-10+ hari
6
Dada, punggung, abdomen
7-10+ hari
Sumber Walton, 1990: 44
  1. Kerangka Pikir


Gambar  2. 9.   Kerangka Pikir


Dikembangkan dari: Muttaqin, A.  Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Pernapasan. Aplikasi Pada Praktek Klinik Keperawatan.. Jakarta. Salemba Medika. Hal 294.





BAB III
METODE PENELITIAN

A.                 Definisi Operasional Variabel

Tabel 3.1. Definisi Operasional
Variabel
Pengertian
Parameter
Alat ukur
Skala
Skor
Kategori
WSD adalah tindakan invasif untuk mengeluarkan cairan atau udara dari dalam rongga pleura dengan menggunakan pipa penghubung sehingga perlu dilakukan perawatan setelah dilakukan
pemasangan WSD.
Perawatan WSD meliputi:
a. Persiapan alat, pasien dan lingkungan yaitu Hal-hal yang perlu disiapkan sebelum pelaksanaan perawatan WSD
b. Pelaksanaan perawatan WSD yaitu tindakan perawatan yang dilakukan terhadap luka, selang dan botol WSD agar paru cepat me
    ngembang dan mencegah terjadinya infeksi

c. Evaluasi yaitu menilai apakah paru yang kolaps sudah mengem
   bang kembali dengan meng
   observasi keadaan umum, ekspansi paru,
    botol dan selang    WSD
Persiapan alat  meliputi:
1.    Satu buah meja dengan satu set bedah minor
2.    Botol WSD berisi larutan bethadin yang telah diencerkan dengan NaCl 0,9% dan ujung selang harus terendam sepanjang 2 cm
3.    Kasa steril dalam tromol
4.    Korentang
5.    Plester dan gunting
6.    Nierbekken / kantong balutan kotor
7.    Alkohol 70%
8.    Bethadin 10%
9.    Handscon steril

















Persiapan Pasien dan Lingkungan meliputi:
1.   Pasien dan keluarga diberikan penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan
2.   Memasang sampiran di sekeliling tempat tidur
3.   Membebaskan pakaian pasien bagian atas
4.   Mengatur posisi setengah duduk sesuai kemampu an pasien
5.   Alat-alat didekatkan ke tempat tidur pasien
Jenis dan jumlah alat

































Jenis dan jumlah tindakan































Observasi langsung  dengan memberi kan tanda check list
(Ö)




























Observasi langsung dengan memberi
kan tanda check list
(Ö)







Ordinal


































Ordinal
a. Nilai         1- 9
atau  100%


b.Nilai             < 9  atau <100%
































a. Nilai  1-5 atau 100%





b. Nilai    < 5, atau    <100%






















a. Persiapan Alat Lengkap



b. Persiapan Alat Tidak Lengkap
































a.  Persiapan Pasien dan Ling
    kungan     Dilakukan



b. Persiapan Pasien dan Ling
    kungan     Dilakukan

















Pelaksanaan perawatan WSD  meliputi:
1.   Perawat mencuci tangan, kemudian memasang handscon
2.   Membuka set bedah minor


3.   Membuka balutan dengan menggunakan pinset secara hati-hati, balutan kotor di
     masukkan   ke dalam bengkok
4.   Mendisinfeksi luka dan selang dengan alkohol 70% kemudian dengan bethadin 10%
5.   Menutup luka dengan kasa steril yang sudah di potong bagian tengahnya kemudian di plester
6.   Selang WSD di klem
7.   Melepaskan sambungan antara selang dengan botol WSD yang lama
8.   Ujung selang WSD dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian selang WSD dihubungkan dengan selang penyambung botol WSD yang baru
9.   Klem selang WSD di buka


10.      Anjurkan pasien untuk menarik napas dalam dan bimbing cara batuk efektif
11.      Latih dan anjurkan pasien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan gerak pada persendian bahu daerah pemasangan WSD
12.      Merapikan pakaian pasien dan lingkungannya, kemudian membantu pasien dalam posisi yang paling nyaman
13.               Member
sihkan alat-alat dan botol WSD yang kotor, kemudian di sterilkan kembali
14.      Membuka handscon dan mencuci tangan
15.      Menulis tindakan yang telah dilakukan pada catatan perawatan.

Jenis dan jumlah tindakan



Observasi langsung dengan memberi
kan tanda check list
(Ö)

Ordinal
a. Nilai     1-15 atau  100%



b. Nilai    < 15 atau    <100%




a. Pelaksa
    naan  Perawa
    tan WSD Dilaku
    kan

b. Pelaksa
    naan  Perawa
    tan WSD Tidak Dilaku
    kan







Evaluasi Keadaan Umum   meliputi:
1.   Observasi keluhan pasien
2.   Observasi gejala sianosis
3.   Observasi tanda perdarahan dan rasa tertekan pada dada
4.   Observasi apakah ada krepitasi pada kulit sekitar selang WSD
5.   Observasi tanda-tanda vital






Evaluasi Ekspansi Paru meliputi :
1.   Melakukan pemeriksaan Inspeksi paru setelah selesai melakukan perawatan WSD
2.   Melakukan pemeriksaan Palpasi  paru setelah selesai melakukan perawatan WSD
3.   Melakukan pemeriksaan Perkusi paru setelah selesai melakukan perawatan WSD
4.   Melakukan pemeriksaan Auskultasi paru setelah selesai melakukan perawatan WSD
5.   Foto thoraks





Evaluasi WSD meliputi :
1.   Pertahankan ujung selang dalam botol WSD agar selalu berada dua cm di bawah air
2.   Pertahankan agar botol WSD selalu lebih rendah dari tubuh
3.   Observasi undulasi pada selang WSD
4.   Observasi apakah selang WSD tersumbat atau terlipat
5.   Ganti botol WSD setiap hari atau bila sudah penuh
6.   Catat jumlah cairan yang keluar dari botol WSD
7.   Observasi fungsi suction countinous
Jenis dan jumlah tindakan





















Jenis dan jumlah tindakan

































Jenis dan jumlah tindakan






Observasi langsung dengan memberi
kan tanda check list
(Ö)



















Observasi langsung dengan memberi
kan tanda check list
(Ö)






























Observasi langsung dengan memberi
kan tanda check list
(Ö)



























Ordinal























Ordinal


































Ordinal
a. Nilai  1-5, atau 100%



b. Nilai   < 5, atau <100% 















a. Nilai  1-5, atau 100%



b. Nilai   < 5, atau <100%



























a. Nilai  1-7, atau 100%


b. Nilai   < 7, atau 100%


a.Evaluasi Keadaan Umum  Dilaku
    kan


b. Evaluasi Keadaan Umum Tidak Dilaku
    kan













a. Evaluasi Ekspansi Paru  Dilaku
    kan


b. Evaluasi Ekspansi Paru  Tidak Dilaku
    kan

























a. Evaluasi WSD  Dilaku kan


b. Evaluasi WSD Tidak Dilaku kan







B.     Rancangan Penelitian.

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif untuk memperoleh gambaran pelaksanaan perawatan WSD terhadap penyakit paru oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin pada pasien yang mengalami masalah ekspansi paru yang tidak optimal, sedangkan rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian cross sectional yaitu pengumpulan data yang dilaksanakan dalam satu waktu.

C.     Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

1.      Lokasi
     Tempat melakukan penelitian ini adalah di instalasi rawat inap RSUD Ulin Banjarmasin karena pelaksanaan perawatan WSD cukup banyak dilakukan.
2.      Waktu
      Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari 2010 sampai dengan bulan Oktober 2010.

D.    Populasi dan Sampel

1.      Populasi

            Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat pelaksana di  ruangan  yang melaksanakan perawatan pada pasien yang terpasang selang WSD di RSUD Ulin Banjarmasin yang berjumlah 127 orang.

2.      Sampel

                Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah metode Purpossive Sampling, maka jumlah sampel pada penelitian ini adalah 45 orang.

E.     Jenis data dan Sumber data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data yang diambil dari subjek penelitian yaitu perawat pelaksana dengan  karakteristik berdasarkan pendidikan S1, D III dan SPK, masa kerja yaitu perawat yang bekerja selama 1-2 tahun, 3-5 tahun dan lebih dari 5 tahun, jenis kelamin yaitu perawat laki-laki dan perempuan serta  umur yaitu perawat yang berusia kurang dari 25 tahun, usia 26-35 tahun dan usia lebih dari 35 tahun. Data primer lainnya adalah data tentang persiapan, pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan perawatan WSD. Sedangkan data sekunder  diambil dari  IRNA Bedah, IRNA Non bedah, IRNA Kelas, Instalasi Ruang Intensif, Instalasi Aster RSUD Ulin Banjarmasin, meliputi: data ketenagaan perawat, data jumlah pasien, data sarana buku prosedur tetap dan data pasien yang dilakukan tindakan pemasangan selang WSD.

F.      Teknik dan Instrumen pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dengan kuesioner dimana peneliti menanyakan data mengenai karakteristik perawat berdasarkan pendidikan S1, D III dan SPK, masa kerja  selama 1-2 tahun, 3-5 tahun dan lebih dari 5 tahun, jenis kelamin  perawat laki-laki dan perempuan serta  umur  yang berusia kurang dari 25 tahun, usia 26-35 tahun dan usia lebih dari 35 tahun.. Pengumpulan data pelaksanaan perawatan WSD dilakukan dengan cara mengobservasi responden secara langsung saat melakukan tindakan perawatan WSD. Instrumen observasi ini dilakukan secara check list (Ö) yang terdiri dari 46 item observasi, meliputi persiapan alat berisi 9 item, persiapan pasien dan lingkungan berisi 5 item, pelaksanaan perawatan WSD  berisi 15 item, evaluasi keadaan umum berisi 5 item, evaluasi ekspansi paru berisi 5 item dan evaluasi WSD berisi 7 item.
Setiap item observasi akan dilakukan peneliti dengan memberikan tanda check list (Ö) terhadap apa yang dilakukan oleh perawat pelaksana dalam melakukan perawatan WSD, yaitu “ya” dan “tidak”. Jawaban “ya” akan diberi nilai 1 dan jawaban “tidak” akan diberi nilai 0.
Pengkategorian nilai untuk perawatan WSD ini adalah  persiapan alat, persiapan pasien dan lingkungan, pelaksanaan dan evaluasi perawatan WSD. Persiapan alat lengkap apabila 1-9 atau 100% dari item instrumen dilaksanakan dan tidak lengkap apabila < 9 atau < 100% dari item instrumen dilaksanakan. Persiapan pasien dan lingkungan dilakukan apabila 1-5 atau 100% dari item instrumen dilaksanakan dan tidak dilakukan apabila < 5 atau < 100% dari item instrumen dilaksanakan. Pelaksanaan perawatan WSD dilakukan apabila 1-15 atau 100% dari item instrumen dilaksanakan dan tidak dilakukan apabila < 15 atau < 100% dari item instrumen dilaksanakan. Evaluasi keadaan umum dilakukan apabila 1-5 atau 100% dari item instrumen  dilaksanakan dan tidak dilakukan apabila < 5 atau < 100% dari item instrumen dilaksanakan, evaluasi ekspansi paru dilakukan apabila 1-5 atau 100% dari item instrumen dilaksanakan dan tidak dilakukan apabila < 5 atau < 100% dari item instrumen dilaksanakan serta evaluasi WSD dilakukan apabila 1-7 atau 100% dari item instrumen dilaksanakan dan tidak dilakukan apabila < 7 atau < 100% dari item instrumen dilaksanakan. Jumlah nilai tertinggi adalah 46 dan jumlah nilai terendah adalah 0.

G.        Teknik pengolahan dan analisis data

1. Teknik Pengolahan data.
Pengolahan data dimulai dengan penyusunan data yang sudah terkumpul dan pengecekan (editing) yaitu memeriksa data yang telah dikumpulkan apakah semua data yang diperlukan untuk mencapai tujuan penelitian sudah lengkap, kemudian mengelompokkan (klasifikasi) data karakteristik responden yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, masa kerja serta persiapan pelaksanaan perawatan WSD, pelaksanaan perawatan WSD dan evaluasi pelaksanaan perawatan WSD. Semua data diperoleh berdasarkan observasi terhadap responden dalam melakukan tindakan pelaksanaan perawatan WSD , kemudian dilakukan pemberian kode (coding) pada data yang sudah diklasifikasikan, dilanjutkan dengan tabulasi data kemudian dilakukan pembahasan deskriptif hasil penelitian.



2. Analisis Data
Analisis ini digunakan hanya untuk menganalisa univariat di mana peneliti mendeskrepsikan data tersebut dalam bentuk narasi, tabel, distribusi frekuensi variabel dan grafik kemudian dibahas.

H.        Jalannya Penelitian.

    Penelitian dimulai dengan meminta surat pengantar dari STIKES Muhammadiyah Banjarmasin ke bagian Diklat RSUD Ulin Banjarmasin, kemudian melakukan persetujuan izin penelitian pada institusi RSUD Ulin Banjarmasin dengan membawa surat pengantar dari institusi STIKES Muhammadiyah Banjarmasin pada tanggal 21 Agustus 2010.
Kemudian peneliti menetapkan waktu penelitian, yaitu pada tanggal 23 Agustus-25 September 2010 dengan pemikiran bahwa dalam rentang waktu tersebut maka penulis dapat melakukan penelitian sesuai dengan jumlah yang ditetapkan secara purpossive sampling yaitu berjumlah 45 orang.
Penelitian dilakukan di ruangan-ruangan yang mempunyai data paling sering melakukan tindakan perawatan WSD pada pasien yang mengalami gangguan ekspansi paru dan mandapat intervensi pemasangan selang WSD yaitu di Ruang Dahlia, Ruang Nusa Indah, Ruang Melati dan Ruang Anggrek RSUD Ulin Banjarmasin. Distribusi sampel terdiri dari 8 responden di Ruang Dahlia, 18 responden di Ruang Nusa Indah, 11 responden di Ruang Melati dan 18 responden di Ruang Anggrek RSUD Ulin Banjarmasin.
 Seluruh responden diminta kesediannya untuk menjadi responden, bila bersedia responden memberikan tanda tangan di blanko kuesioner yang telah disediakan, kemudian peneliti melakukan wawancara untuk mengisi data karakteristik perawat berdasarkan pendidikan, umur, jenis kelamin dan masa kerja. Penilaian dilakukan pada saat responden melakukan tindakan perawatan WSD dengan dilihat oleh peneliti langsung atau oleh kepala ruangan maupun supervisor yang sebelumnya telah dilakukan penyamaan persepsi tentang bagaimana perawatan WSD. Hal ini untuk menghindari perasaan yang mungkin tidak mengenakkan pada responden saat melakukan tindakan sehingga membuat hasil observasi menjadi tidak objektif.
Setelah semua responden selesai diobservasi, data dikumpulkan kemudian ditabulasi. Data yang dianggap memenuhi syarat untuk selanjutnya diberikan tanda khusus (coding) untuk menghindari adanya kesalahan dan duplikasi entri data.
Pada tanggal 29 September 2010 peneliti meminta surat keterangan selesai melakukan penelitian pada bagian Diklat RSUD Uin Banjarmasin.
          Data disajikan dalam bentuk diagram pie pada data demografi responden, sedangkan data mengenai pelaksanaan fisioterapi dada disajikan dalam bentuk diagram batang.

I.         Keterbatasan penelitian.

  Penelitian ini hanya meneliti bagaimana gambaran pelaksanaan perawatan WSD terhadap penyakit paru oleh perawat dan tidak menganalisis apakah terdapat adanya hubungan atau pengaruh terhadap pelaksanaan dari perawatan WSD.

  Demikian juga dengan  sampel penelitian, dari jumlah sampel 127 orang  yang diteliti hanya berjumlah 45 orang. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu  yang hanya satu bulan, di mana dalam rentang waktu tersebut  hanya ditemukan di empat ruangan dari sembilan ruangan yang mempunyai kasus pemasangan selang WSD yaitu di Ruang Dahlia, Ruang Nusa Indah, Ruang Anggrek dan Ruang Melati. Kasus pemasangan selang WSD ini memang lebih banyak ditemukan di Ruang Dahlia dan Ruang Nusa Indah, meskipun di ruang kelas dan ruang VIP juga ditemukan kasus tersebut namun lebih banyak karena alasan ekonomi dan status kepegawaian.
Metoda pengumpulan data penelitian ini hanya menggunakan instrumen kuisioner dan observasi sehingga pada penelitian akan datang akan lebih baik jika ditambah dengan instrumen wawancara terstruktur.

J.      Etika Penelitian.

  Sebelum melakukan pengambilan data, peneliti memperhatikan dalam masalah etika pengambilan data, meliputi:

1.  Informed Consent (Lembar persetujuan menjadi responden)

      Lembar persetujuan diserahkan kepada responden supaya subyek penelitian mengerti maksud dan tujuan penelitian. Apabila subyek penelitian setuju maka harus menandatangani lembar persetujuan sebagai subyek penelitian.

2.      Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas subyek, maka peneliti tidak mencantumkan nama subyek pada lembar kuesioner yang diisi subyek.


3.      Confidentiality

Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subyek dijamin oleh peneliti. Hanya kelompok data tertentu saja yang disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset.



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisi tentang deskripsi mengenai hasil penelitian dan pembahasan sesuai dengan tujuan penelitian. Penyajian data terdiri atas gambaran umum lokasi penelitian, analisis data, dan pembahasan. Gambaran umum lokasi penelitian menampilkan diskripsi RSUD Ulin Banjarmasin sebagai lokasi pengambilan data serta data demografi responden berdasarkan jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, dengan menggunakan diagram pie. Analisis data menampilkan Gambaran Pelaksanaan Perawatan Water Seal Drainage Terhadap Penyakit Paru oleh Perawat di RSUD Ulin Banjarmasin. Adapun analisis data adalah persiapan, pelaksanaan dan evaluasi dalam melaksanakan perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin  dalam bentuk diagram batang. Pembahasan ditampilkan secara deskripsi hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian.

A.     Hasil Penelitian
  1. Gambaran Umum RSUD Ulin Banjarmasin

43
 
RSUD Ulin Banjarmasin merupakan rumah sakit pusat rujukan di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Saat ini sebagai Lembaga Teknis Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dengan status Kelas B Pendidikan telah ditetapkan sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) melalui Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No.188.44/0456/Kum/2007 tanggal 27 Desember Tahun 2007. Sebagai RS-BLUD, RSUD Ulin Banjarmasin mempunyai tugas utama melaksanakan ”Pelayanan Medik, Pendidikan Kesehatan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat”.
Pelayanan keperawatan di RSUD Ulin Banjarmasin terdiri atas pelayanan di Instalasi Gawat Darurat, Instalasi ambulan, Instalasi Intensif, Instalasi kelas Utama, IRNA Bedah, IRNA non Bedah, dan Instalasi Rawat jalan. Bagian pelayanan rawat inap memiliki 22 ruangan perawatan dengan 456 tenaga perawat.
  1. Karakteristik responden
Deskripsi data meliputi gambaran karakteristik responden, terdiri atas pendidikan, masa kerja, jenis kelamin dan umur.
a. Gambaran karakteristik responden berdasarkan Pendidikan
Gambar 4.1. Diagram Pie gambaran karakteristik responden berdasarkan  pendidikan di RSUD Ulin Banjarmasin pada tanggal 23 Agustus 2010-25  September 2010

Dari gambar 4.1. terlihat bahwa dari 45 orang responden berdasarkan pendidikan adalah pada SPK berjumlah 9 orang (20 %), D-III berjumlah 29 orang (64,4 %), dan  S1 berjumlah 7 orang (15,6 %).
b.Gambaran karakteristik responden berdasarkan Masa Kerja
Gambar 4.2. Diagram Pie gambaran karakteristik responden berdasarkan   masa kerja di RSUD Ulin Banjarmasin pada tanggal 23 Agustus 2010-25  September 2010

Dari gambar 4.2.  terlihat bahwa dari 45 orang responden yaitu masa  kerja 1–2 tahun berjumlah 13 orang (28,9 %), 3–5 tahun berjumlah 21 orang (46,7 %) dan >5 tahun berjumlah 11 orang (24,4 %).

c. Gambaran karakteristik responden berdasarkan Jenis Kelamin
Gambar 4.3.  Diagram Pie gambaran karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin di RSUD Ulin Banjarmasin pada tanggal 23 Agustus 2010-25  September 2010

Dari gambar 4.3. terlihat bahwa dari 45 orang responden berdasarkan jenis kelamin yaitu laki–laki berjumlah 17 orang (37,8 %), dan perempuan yaitu 28 orang (62,2 %)

d.Gambaran karakteristik responden berdasarkan Umur
Gambar 4.4.     Diagram Pie gambaran karakteristik responden berdasarkan umur di RSUD Ulin Banjarmasin pada tanggal 23 Agustus 2010-25  September 2010

Dari gambar 4.4. terlihat bahwa dari 45 orang responden berdasarkan umur yaitu <25 tahun berjumlah 14 orang (31,1 %), 25–35 tahun berjumlah 21 orang (46,7 %) dan >35 tahun berjumlah 10 orang (22,2 %).

B.     Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini, terdiri atas gambaran pelaksanaan persiapan, pelaksanaan dan evaluasi perawatan WSD.





a.      Persiapan Alat
Gambar 4.5.     Persiapan alat pada pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin  pada tanggal 23 Agustus 2010-25  September 2010

Dari gambar 4.5. terlihat bahwa persiapan alat pada pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin yaitu dinilai lengkap berjumlah 38 orang (84,44 %) dan tidak lengkap berjumlah 7 orang (15.56 %).

b.      Persiapan Pasien dan Lingkungan
Gambar 4.6.     Persiapan pasien dan lingkungan pada pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin  pada tanggal 23 Agustus 2010-25  September 2010

Dari gambar 4.6. terlihat bahwa persiapan pasien dan lingkungan pada pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin yaitu dilakukan berjumlah 40 orang (88,89 %) dan tidak dilakukan berjumlah 5 orang (11,11 %).

2.      Pelaksanaan Perawatan WSD oleh Perawat  di RSUD Ulin   Banjarmasin 2010

Gambar 4.7.     Pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin  pada tanggal 23 Agustus 2010-25  September 2010

Dari gambar 4.7. terlihat bahwa pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin yaitu dilakukan berjumlah 33 orang (73,33 %) dan tidak dilakukan berjumlah 12 orang (26,67 %).

  1. Evaluasi  perawatan WSD oleh Perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin 2010



a.       Keadaan Umum
Gambar 4.8.     Evaluasi keadaan umum pada pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin  pada tanggal 23 Agustus 2010-25  September 2010

Dari gambar 4.8. terlihat bahwa Evaluasi keadaan umum pada pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin yaitu dilakukan berjumlah 31 orang ( 68,89 %) dan tidak dilakukan berjumlah 14 orang (31,11 %).

b.      Ekspansi Paru
Gambar 4.9      Evaluasi ekspansi paru pada pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin  pada tanggal 23 Agustus 2010-25  September 2010.
Dari gambar 4.9. terlihat bahwa evaluasi ekspansi paru pada pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin adalah dilakukan berjumlah 6 orang (13,33 %) dan tidak dilakukan berjumlah 39 orang (86,87 %).

c.       WSD

Gambar 4.10    Evaluasi WSD pada pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin  pada tanggal 23 Agustus 2010-25  September 2010

Dari gambar 4.10. terlihat bahwa evaluasi WSD pada pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin adalah dilakukan berjumlah 37 orang ( 82,22 %) dan tidak dilakukan berjumlah 8 orang (17,78 %).

Adapun tabulasi silang antara gambaran karakteristik responden dengan gambaran pelaksanaan persiapan, pelaksanaan dan evaluasi perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin adalah :

  1. Tabulasi Silang Karakteristik Responden dengan Persiapan Perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin.

Tabel 4.1. Tabulasi silang karakteristik responden dengan persiapan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin  pada tanggal 23 Agustus 2010-25  September 2010



 Karakteristik
responden                                       
Persiapan
Alat
Pasien dan lingkungan
Lengkap
Tidak lengkap
Lengkap
Tidak lengkap

%

%

%

%
Pendidikan
SPK
5
11,11
4
8,89
6
24,44
3
6,67
DIII
26
57,78
3
6,67
27
60
2
4,44
S1
6
24,44
1
2,22
7
15,56
0
0
Masa kerja
1-2 th
8
17,78
5
11,11
10
22,22
3
6,67
3-5 th
20
44,44
1
2,22
19
42,22
2
4,44
>5 th
10
22,22
1
2,22
10
22,22
1
2,22
Jenis  Kelamin
Laki- Laki
15
33,33
2
4,44
13
28,89
4
8,89
Perempuan
27
60
1
2,22
20
44,44
8
17,78
Umur
<25 th
10
22,22
4
8,89
13
28,89
1
2,22
25-35 th
20
44,44
1
2,22
19
42,22
2
4,44
>35 th
6
24,44
4
8,89
7
15,56
3
6,67
Sumber : hasil tabulasi responden
Dilihat dari tabulasi silang antara karakteristik responden dengan persiapan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin adalah :
a.      Persiapan alat
     Dalam melakukan persiapan alat yang terbanyak tidak lengkap berdasarkan pendidikan adalah SPK berjumlah 4 orang atau 8,89 %, berdasarkan masa kerja 1–2 tahun berjumlah 5 orang atau 11,11 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki berjumlah 2 orang atau 44,44 %, dan berdasarkan umur  <25  tahun berjumlah 4 orang atau 8,89 %,serta umur >35 tahun berjumlah 4 orang atau 8,89 %.
    Dapat terlihat bahwa dalam melakukan persiapan alat pada pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat tidak lengkap, dalam hal ini disebabkan pendidikan yang kurang standar dalam tingkat pendidikan perawat dan juga umur muda serta umur yang lebih dewasa yaitu >35 yang berpengaruh dalam melakukan tindakan yang kurang disiplin, kurang teliti dan banyaknya pasien yang harus diganti balutan setiap hari namun tidak ditunjang dengan ketersediaan alat yang cukup serta kejenuhan dalam bekerja, sedangkan dalam jenis kelamin terutama laki–laki kurang teliti dalam melakukan persiapan selalu melakukan secara spontan tanpa berpikir lebih kritis atau pekerjaannya ingin cepat selesai sehingga persiapan alat dilakukan seadanya serta kurangnya pelatihan dan pengalaman dalam standar operasional prosedur terutama dalam tindakan perawatan WSD.
b.      Persiapan pasien dan lingkungan
    Dalam melakukan persiapan pasien dan lingkungan yang terbanyak tidak lengkap berdasarkan pendidikan adalah SPK berjumlah 3 orang atau 6,67 %, berdasarkan masa kerja 1–2 tahun berjumlah 3 orang atau 6,67 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan berjumlah 8 orang atau 17,78 %, serta berdasarkan umur > 35 tahun berjumlah 3 orang atau 6,67 %.
         Dapat dilihat bahwa dalam melakukan persiapan pasien dan lingkungan pada pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat tidak dilakukan, dalam hal ini disebabkan pendidikan yang kurang standar dalam tingkat pendidikan perawat dan juga umur yang lebih dewasa yaitu >35 sangat berpengaruh dalam melakukan tindakan yang dikarenakan kurang disiplin dan teliti serta kejenuhan dalam bekerja dan banyaknya pasien yang harus dirawat setiap hari, sedangkan dalam jenis kelamin terutama perempuan yang kurang komunikasi dengan pasien dalam melakukan persiapan pasien dan lingkungan karena secara emosional mungkin merasa sungkan dalam berkomunikasi sehingga dalam melakukan persiapan pasien dan lingkungan kadang tidak disampaikan secara menyeluruh serta kurangnya pelatihan dan pengalaman dalam standar operasional prosedur terutama dalam tindakan perawatan WSD.









  1. Tabulasi Silang Karakteristik Responden dengan Pelaksanaan Perawatan WSD di RSUD Ulin Banjarmasin

Tabel 4.2.  Tabulasi silang karakteristik responden dengan pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin  pada tanggal 23 Agustus 2010-25  September 2010

Karakteristik
Responden
Pelaksanaan
Dilakukan
Tidak dilakukan


%

%
Pendidikan
SPK
4
8,89
5
11,11
DIII
25
55,56
4
8,89
S1
5
11,11
2
4,44
Masa kerja
1-2 th
5
11,11
8
17,78
3-5 th
20
44,44
1
2,22
>5 th
9
20
2
4,44
Jenis kelamin
Laki- Laki
10
22,22
7
15,56
Perempuan
22
48,89
6
13,33
Umur
<25 th
8
17,78
6
13,33
25-35 th
18
40
3
6,67
>35 th
7
15,56
3
6,67
Sumber : hasil tabulasi responden

    Dilihat dari tabulasi silang antara karakteristik responden dengan pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin yaitu dalam melakukan pelaksanaan yang terbanyak tidak dilakukan berdasarkan pendidikan adalah SPK berjumlah 5 orang atau 11,11 %, berdasarkan masa kerja 1–2 tahun berjumlah 8 orang atau 17,78 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki berjumlah 7 orang atau 15,56 %, dan berdasarkan umur  <25  tahun berjumlah 6 orang atau 13,33 %.
         Dapat terlihat bahwa dalam melakukan pelaksanaan perawatan WSD banyak tidak dilakukan, dalam hal ini disebabkan oleh pendidikan yang kurang standar dalam tingkat pendidikan perawat dan juga umur yang lebih muda dan masa kerja antara 1-2 tahun yang berpengaruh dalam melakukan tindakan yang diakibatkan mereka baru saja menyelesaikan pendidikan sehingga  keterampilan dan pengalamannya masih kurang dalam hal melakukan tindakan-tindakan keperawatan, sedangkan dalam jenis kelamin terutama laki–laki kadang kurang teliti dalam melakukan pelaksanaan dan selalu melakukan secara spontan tanpa berpikir lebih kritis serta melakukan tindakan yang ingin cepat selesai dan  seadanya serta kurangnya pelatihan dan pengalaman dalam standar operasional prosedur terutama dalam tindakan perawatan WSD.








  1. Tabulasi Silang Karakteristik Responden dengan Evaluasi Perawatan WSD di RSUD Ulin Banjarmasin

Tabel 4.3.   Tabulasi silang karakteristik responden dengan evaluasi perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin  pada tanggal 23 Agustus 2010-25  September 2010


Karakteristik
responden                                        
Evaluasi
Keadaan umum
Ekspansi paru
WSD
Dilakukan
Tidak dilakukan
dilakukan
Tidak dilakukan
Dilakukan
Tidak dilakukan

%

%

%

%

%

%
Pendidikan
SPK
4
8,89
5
11,11
1
2,22
8
17,78
5
11,11
4
8,89
DIII
25
55,56
4
8,89
3
6,67
26
57,78
27
60
2
4,44
S1
5
11,11
2
4,44
2
4,44
5
11,11
5
11,11
2
4,44
Masa kerja
1-2 th
7
15,56
6
13,33
0
0
13
28,89
10
22,22
3
6,67
3-5 th
19
42,22
2
4,44
4
8,89
17
37,78
19
42,22
2
4,44
>5 th
7
15,56
4
8,89
2
4,44
9
20
7
15,56
4
8,89
Jenis  Kelamin
Laki- Laki
11
24,44
6
13,33
2
4,44
15
33,33
14
31,11
3
6,67
Perempuan
24
53,33
4
8,89
4
8,89
24
53,33
23
51,11
5
11,11
Umur
<25 th
4
8,89
10
22,22
0
0
14
31,11
9
20
5
11,11
25-35 th
17
37,78
4
8,89
5
11,11
16
35,56
20
44,44
1
2,22
>35 th
8
17,78
2
4,44
1
2,22
9
20
8
17,78
2
4,44
  Sumber : hasil tabulasi responden

        Dilihat dari tabulasi silang antara karakteristik responden dengan persiapan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin adalah :



a.      Keadaan umum
         Dalam melakukan evaluasi keadaan umum yang terbanyak tidak dilakukan berdasarkan pendidikan adalah SPK berjumlah 5 orang atau 11,11 %, berdasarkan masa kerja 1–2 tahun berjumlah 6 orang atau 13,33 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki berjumlah 6 orang atau 13,33 %, dan berdasarkan umur  <25  tahun berjumlah 10 orang atau 22,22 %.
    Dapat dilihat bahwa dalam melakukan evaluasi keadaan umum banyak tidak dilakukan hal ini disebabkan oleh pendidikan yang kurang standar dalam tingkat pendidikan perawat dan juga pengalaman kerja sedikit yaitu 1–2 tahun yang berpengaruh dalam melakukan tindakan yang diakibatkan kurangnya keterampilan dan pengalaman serta keinginan belajar yang kurang, sedangkan dalam jenis kelamin terutama laki–laki kurang teliti dalam melakukan pelaksanaan dan selalu melakukan secara spontan tanpa berpikir lebih kritis serta melakukan tindakan yang ingin cepat selesai dan  seadanya, sedangkan umur lebih muda   yaitu <25 tahun dalam melakukan evaluasi kadang tidak dilakukan dikarenakan kurang keinginan untuk belajar mengerjakan serta sering menunggu perintah seniornya juga kurangnya pelatihan dan pengalaman dalam standar operasional prosedur terutama dalam tindakan perawatan WSD.


b.      Ekspansi paru
         Dalam melakukan evaluasi ekspansi paru banyak tidak dilakukan berdasarkan pendidikan adalah DIII berjumlah 26 orang atau 57,78 %, berdasarkan masa kerja 3-5 tahun berjumlah 17 orang atau 37,78 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan berjumlah 24 orang atau 53,33 %, dan berdasarkan umur 25-35 tahun berjumlah 16 orang atau 35,56 %.
    Dapat dilihat bahwa dalam hal pelaksanaan evaluasi ekspansi paru banyak perawat di RSUD Ulin Banjarmasin yang tidak melakukannya. Hal ini mengambarkan bahwa masih kurangnya pengetahuan dan  keterampilan serta motivasi perawat dalam menilai apakah paru yang kolaps sudah mengembang atau belum setelah dilakukan tindakan pemasangan selang WSD, dimana sebagian besar perawat tidak melakukan pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi paru setelah selesai mengganti balut, keinginan untuk mau belajar pemeriksaan fisik paru juga masih kurang disebabkan karena kurangnya kepercayaan diri, rasa sungkan terhadap pasien dan adanya anggapan bahwa yang melakukan pemeriksaan fisik itu adalah dokter.
c.      WSD
     Dalam melakukan evaluasi WSD banyak tidak dilakukan berdasarkan pendidikan adalah SPK berjumlah 4 orang atau 8,89 %, berdasarkan masa kerja >5 tahun berjumlah 4 orang atau 8,89 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan berjumlah 5 orang atau 11,11 %, dan berdasarkan umur  <25  tahun berjumlah 5 orang atau 11,11 %.
    Dapat dilihat bahwa dalam melakukan evaluasi banyak tidak dilakukan dalam hal ini disebabkan oleh pendidikan yang kurang standar dalam tingkat pendidikan perawat, masa kerja >5 tahun berpengaruh dalam melakukan tindakan yang diakibatkan kejenuhan dalam bekerja, reward dan penghargaan dari pihak rumah sakit yang belum memuaskan sehingga dapat menurunkan motivasi dalam bekerja, seringnya rotasi juga membuat masa kerja di tiap ruang tidak lama, sedangkan dalam jenis kelamin terutama perempuan dalam melakukan evaluasi WSD kadang berfikir dulu dalam setiap melakukan tindakan, sedikit penakut dan jijik , sedangkan umur lebih muda yaitu <25 tahun dalam melakukan evaluasi kadang tidak dilakukan dikarenakan kurang keinginan dan motivasi untuk belajar mengerjakan serta sering menunggu perintah seniornya juga kurangnya pelatihan dan pengalaman dalam standar operasional prosedur terutama dalam tindakan perawatan WSD.

C.     Pembahasan
     Pembahasan pada penelitian ini, terdiri atas pembahasan gambaran karakteristik responden dan Gambaran Pelaksanaan Perawatan Water Seal Drainage Terhadap Penyakit Paru oleh Perawat di RSUD Ulin Banjarmasin 2010.
1.      Gambaran Karakteristik Responden
Hasil dari penelitian bahwa gambaran karakteristik responden yang terdiri atas pendidikan, masa kerja, jenis kelamin dan umur adalah berdasarkan tingkat pendidikan terbanyak yaitu D-III sebanyak 29 orang atau 64,4 %. Hal ini menjelaskan bahwa tingkat pendidikan sesuai dengan kompetensi, dan sesuai dengan peraturan pendidikan perawat bahwa standar perawat professional adalah diploma III keperawatan.
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian, kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah seseorang tersebut menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi, maka seseorang cenderung untuk mendapatkan informasi baik dari orang lain maupun dari media masa, semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan seseorang tentang kesehatan, Notoatmodjo (1997) dikutip Sri Ilyanti (2005: 34)
 Masa kerja yang terbanyak adalah 3-5 tahun sebesar 21 orang atau 46,7 %, hal ini menjelaskan bahwa masa kerja perawat sebagai responden sesuai dengan pengalaman kerjanya sehingga menambah pengalaman dibidang masing–masing dalam melaksanakan intervensi keperawatan terutama perawatan WSD.
Pengalaman belajar dalam bekerja yang berkembang memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dan keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang keperawatan. Notoatmodjo (1997) dikutip Sri Ilyanti (2005: 34)
Jenis kelamin terbanyak adalah perempuan sebesar 28 orang atau 62,2 %, hal ini menjelaskan bahwa perempuan lebih banyak dalam melakukan pelaksanaan perawatan WSD. Sesuai dengan  data karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin yang menggambarkan bahwa jumlah responden perempuan lebih banyak daripada laki-laki. 
Umur responden terbanyak adalah 25–35 tahun sebesar 21 orang atau 46,7 %, hal ini menjelaskan bahwa perawat pelaksana yang melakukan intervensi keperawatan terutama pada perawatan WSD adalah perawat berumur masih muda sehingga ini sesuai dengan umur produktif dimana pada umur tersebut produktivitas kerja lebih baik dan konsisten.
Dua sikap tradisional mengenai jalannya perkembangan selama hidup: Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya. Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang sudah tua karena mengalami kemunduran baik fisik maupun mental. Dapat diperkirakan IQ akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia khususnya pada beberapa kemampuan yang lain seperti misalnya kosakata dan pengetahuan umum. Beberapa teori berpendapat ternyata IQ seseorang akan menurun cukup cepat sejak bertambahnya usia, menurut Malcom dikutip Azwar (1998: 12).
2.      Gambaran Pelaksanaan Perawatan Water Seal Drainage Terhadap Penyakit Paru oleh Perawat di RSUD Ulin Banjarmasin 2010.
a.       Persiapan perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin 2010
1)     Persiapan alat
          Hasil dari Persiapan pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin 2010 yang terdiri atas persiapan  alat, pasien dan lingkungan yaitu pada persiapan alat dalam pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin 2010 menggambarkan bahwa responden terbanyak yang dinilai lengkap sebesar 38 orang atau 84,44 % . Hal ini menggambarkan bahwa dalam melakukan persiapan alat sesuai dengan implementasi dan prosedur dalam persiapan yang telah ditetapkan.
2)     Persiapan pasien dan lingkungan
        Hasil persiapan perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin 2010 yang terdiri atas persiapan pasien dan lingkungan dalam pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin 2010 menggambarkan bahwa responden terbanyak yang dinilai lengkap sebesar 40 orang atau 88,89 % . Hal ini menggambarkan bahwa dalam melakukan persiapan pasien dan lingkungan sesuai dengan implementasi dalam persiapan yang telah ditetapkan.
         Responden dinilai persiapan dilakukan, ini juga merupakan respon dari pimpinan langsung, yaitu kepala ruangan dan supervisor yang melakukan bimbingan dan pengawasan langsung pada seluruh perawat. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmojo (2007: 156), tentang intervensi motivasi kerja. Pengawasan atau supervisi oleh atasan terhadap bawahan adalah alat untuk memotivasi kerja karyawan. Supervisi yang baik adalah sambil melihat kinerja karyawan, atasan seyogianya memberikan bimbingan, arahan, dan konsultasi terhadap tugas atau pekerjaan karyawan bawahannya. “Karyawan didorong melaksanakan tugasnya atas dasar kemauan dan prakarsanya sendiri, bukan karena diinstruksikan oleh atasan” Notoatmodjo (2007: 232).

b.      Pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin 2010
         Hasil dari gambaran pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin banjarmasin dimana jumlah dilakukan tindakan pelaksanaan berdasarkan jumlah responden yang terbanyak yaitu 33 orang atau 73,33 %. Hal ini menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan dalam perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin sudah sesuai dengan prosedur keperawatan yang telah ditetapkan.
     Pelaksanaan implementasi perawatan WSD di RSUD Ulin Banjarmasin sangat dipengaruhi oleh keterampilan kognitif untuk menentukan implementasi yang sesuai dengan kondisi klinik pasien. Hal ini sesuai pendapat Potter (2006: 208) yang menyatakan bahwa “Keterampilan kognitif mencakup pengetahuan keperawatan. Perawat harus mengetahui alasan untuk setiap intervensi terapeutik, memahami respons fisiologis dan psikologis normal dan abnormal, mampu mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran dan pemulangan klien, dan mengenali promosi kesehatan klien dan kebutuhan pencegahan penyakit”.
            Pemahaman dan pengetahuan perawat tentang kondisi yang berhubungan dengan implementasi perawatan meliputi pengetahuan tentang struktur anatomis saluran pernapasan, fisiologi pernapasan, patologis penyakit yang sesuai dengan kondisi klinik pasien akan meningkatkan kemampuan keterampilan klinik pada saat melakukan implementasi.
           Pelaksanaan perawatan WSD di RSUD Ulin Banjarmasin oleh perawat cukup baik memberikan gambaran bahwa perawat mempunyai sikap yang cukup baik untuk melaksanakan implementasi yang sesuai dengan kondisi klinik pasien. Sikap yang cukup baik dari responden merupakan kesiapan perawat untuk bereaksi terhadap pelaksanaan prosedur tetap pelaksanaan perawatan WSD RSUD Ulin Banjarmasin, sebagai reaksi manusiawi. Hal ini sesuai dengan pendapat Maramis (2006: 254) mengenai reaksi sikap manusiawi. “Pada umumnya manusia berusaha menimbulkan reaksi positif pada orang lain dan menghindari yang negatif”.
c.       Evaluasi pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin 2010.
1)      Keadaan Umum
          Hasil dari gambaran mengenai evaluasi pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin terutama evaluasi keadaan umum berdasarkan jumlah responden terbanyak yang dilakukan yaitu sebanyak 31 orang atau 68,89 %. Hal ini menjelaskan bahwa dalam mengevaluasi keadaan umum pasien dalam pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin sudah dilakukan sesuai dengan prosedur pelaksanaan.
2)      Ekspansi Paru
Hasil dari penelitian bahwa gambaran mengenai evaluasi pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin terutama evaluasi ekspansi paru berdasarkan jumlah responden terbanyak yang tidak dilakukan yaitu sebanyak 39 orang atau 86,87 %. Hal ini mengambarkan bahwa perawat RSUD Ulin Banjarmasin dalam melaksanakan evaluasi ekspansi paru banyak yang tidak melakukan dikarenakan kurangnya pengetahuan dan pelatihan dalam mengevaluasi ekspansi paru tersebut sehingga tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
    Perawatan WSD mempunyai tujuan untuk menghindari adanya komplikasi dan meningkatkan pengembangan paru secara optimal. Pada asuhan keperawatan klinik perawat sering melakukan perawatan WSD pada berbagai pasien yang mempunyai masalah pada rongga thorax. Kondisi ini memberikan dampak terhadap semakin komprehensifnya peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang mempunyai masalah pada pola napas, sehingga diperlukan perawat yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang tinggi dalam memberikan pelayanan keperawatan. (Muttaqin. A. 2008, 207)
3)      WSD
Hasil dari penelitian mengenai gambaran mengenai evaluasi pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat di RSUD Ulin Banjarmasin terutama evaluasi WSD berdasarkan jumlah responden terbanyak yang dilakukan yaitu sebanyak 37 orang atau 82,22 %. Hal ini menggambarkan bahwa perawat di RSUD Ulin Banjarmasin dalam melaksanakan evaluasi pada pasien dengan pemasangan WSD dilakukan, sesuai  dengan evaluasi pelaksanaan perawatan WSD yang telah ditetapkan.

Peran perawat sebagai pelaksana dalam melakukan persiapan, pelaksanaan dan evaluasi sangat menunjang dalam optimalisasi hasil dari tujuan yang ditetapkan pada prosedur tetap. Hal ini sesuai dengan pendapat Potter (2006: 286) yang menyatakan bahwa peran perawat sebagai pemberi perawatan asuhan keperawatan, perawat membantu klien mendapatkan kembali kesehatannya melalui proses penyembuhan. Proses penyembuhan lebih dari sekedar sembuh dari penyakit tertentu, sekali pun keterampilan tindakan yang meningkatkan kesehatan fisik merupakan hal yang penting bagi pemberi asuhan. Perawat memfokuskan asuhan pada kebutuhan kesehatan klien secara holistik, meliputi upaya mengembalikan kesehatan melalui intervensi keperawatan.
Keberhasilan pelaksanaan implementasi sangat dipengaruhi keterampilan perawat. Hal ini sesuai dengan pendapat Potter (2006: 208) bahwa “keterampilan dalam melaksanakan implementasi dipengaruhi oleh tiga faktor, meliputi keterampilan kognitif, keterampilan interpersonal, dan keterampilan psikomotor”. Keterampilan kognitif sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan perawat sesuai dengan kondisi klinik pasien yang akan dilakukan implemantasi. Keterampilan interpersonal penting untuk tindakan keperawatan yang efektif. Perawat harus berkomunikasi dengan jelas kepada klien, keluarganya. dan anggota tim perawatan kesehatan lain. Perhatian dan rasa saling percaya ditunjukan ketika perawat berkomunikasi secara terbuka dan jujur. Penyuluhan dan konseling harus dilakukan hingga tingkat pemahaman dan pengharapan klien. Perawat juga harus sensitif pada respons emosional klien terhadap penyakit dan pengohatan. Penggunaan keterampilan interpersonal yang sesuai memungkinkan perawat mempunyai perseptif terhadap komunikasi verbal dan nonverbal klien. Keterampilan psikomotor mencakup kebutuhan langsung perawatan klien, seperti pengaturan posisi, pencegahan trauma dan pemeriksaan kondisi klinik pada saat pelaksanaan perawatan WSD.

3.      Gambaran Tabulasi Silang karakteristik Responden dengan Persiapan, Pelaksanaan dan Evaluasi pada Pelaksanaan Perawatan WSD oleh Perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin
a.      Tabulasi karakteristik berdasarkan pendidikan, masa kerja, jenis kelamin dan umur dengan persiapan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin
1)     Persiapan alat
Hasil penelitian dari melakukan persiapan alat yang lengkap berdasarkan pendidikan adalah DIII berjumlah 26 orang atau 57,78 %, berdasarkan masa kerja 3-5 tahun berjumlah 20 orang atau 44,44 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan berjumlah 27 orang atau 60 %, dan berdasarkan umur 25–35 tahun berjumlah 20 orang atau 44,44 %. Dapat terlihat bahwa dalam melakukan persiapan alat sesuai dengan standar pendidikan perawat serta pengalaman yang cukup sehingga dalam melakukan tindakan persiapan alat banyak yang sesuai prosedur dan juga tingkat umur produktif serta jenis kelamin perempuan mampu berkonsentrasi dan teliti dalam melakukan tindakan terutama persiapan alat.
Dalam melakukan persiapan alat yang terbanyak tidak lengkap berdasarkan pendidikan adalah SPK berjumlah 4 orang atau 8,89 %, berdasarkan masa kerja 1–2 tahun berjumlah 5 orang atau 11,11 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu laki - laki berjumlah 2 orang atau 44,44 %, dan berdasarkan umur  <25  tahun berjumlah 4 orang atau 8,89 %,serta umur >35 tahun berjumlah 4 orang atau 8,89 %. Hal ini disebabkan karena pendidikan yang kurang standar dalam tingkat pendidikan perawat dan juga umur muda serta umur yang lebih dewasa yaitu >35 yang berpengaruh dalam melakukan tindakan yang kurang disiplin dan teliti serta kejenuhan dalam bekerja, sedangkan dalam jenis kelamin terutama laki–laki kurang teliti dalam melakukan persiapan dan selalu melakukan secara spontan tanpa berpikir lebih kritis dengan persiapan dan alat seadanya, serta kurangnya pelatihan dan pengalaman dalam standar operasional prosedur terutama dalam tindakan perawatan WSD.
2)     Persiapan pasien dan lingkungan
Hasil penelitian dari melakukan persiapan pasien dan lingkungan  yang lengkap berdasarkan pendidikan adalah DIII berjumlah 27 orang atau 60 %, berdasarkan masa kerja 3-5 tahun berjumlah 19 orang atau 42,22 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan berjumlah 20 orang atau 44,44 %, dan berdasarkan umur 25–35 tahun berjumlah 19 orang atau 42,22 %.
Dapat terlihat bahwa dalam melakukan persiapan pasien dan lingkungan sesuai dengan standar pendidikan perawat serta pengalaman yang cukup sehingga dalam melakukan tindakan persiapan pasien dan lingkungan banyak yang sesuai prosedur dan juga tingkat umur produktif serta jenis kelamin perempuan mampu berkonsentrasi dan teliti dalam melakukan tindakan terutama persiapan pasien dan lingkungan pada pelaksanaan perawatan WSD.  
Dalam melakukan persiapan pasien dan lingkungan yang terbanyak tidak lengkap berdasarkan pendidikan adalah SPK berjumlah 3 orang atau 6,67 %, berdasarkan masa kerja 1–2 tahun berjumlah 3 orang atau 6,67 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan berjumlah 8 orang atau 17,78 %, serta berdasarkan umur >5 tahun berjumlah 3 orang atau 6,67 %. Hal ini disebabkan serta pendidikan yang kurang standar dalam tingkat pendidikan perawat dan juga umur yang lebih dewasa yaitu >35 sangat berpengaruh dalam melakukan tindakan yang dikarenakan kurang disiplin dan teliti serta kejenuhan dalam bekerja dan juga reword yang kurang, sedangkan dalam jenis kelamin terutama perempuan kurang teliti dalam melakukan persiapan pasien dan lingkungan karena secara emosional lebih rendah dan adanya rasa malu dalam berkomunikasi sehingga dalam melakukan persiapan pasien dan lingkungan kadang tidak lengkap.dan, serta kurangnya pelatihan dan pengalaman dalam standar operasional prosedur terutama dalam tindakan perawatan WSD.

b.      Tabulasi karakteristik berdasarkan pendidikan, masa kerja, jenis kelamin dan umur dengan pelaksanaan perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin
   Hasil penelitian dari melakukan pelaksanaan yang dilakukan berdasarkan pendidikan adalah DIII berjumlah 25 orang atau 55,56 %, berdasarkan masa kerja 3-5 tahun berjumlah 20 orang atau 44,44 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan berjumlah 22 orang atau  48,89 %, dan berdasarkan umur 25–35 tahun berjumlah 18 orang atau 40 %.
   Dapat terlihat bahwa dalam pelaksanaan pada perawatan WSD sesuai dengan standar pendidikan perawat serta pengalaman yang cukup sehingga dalam melakukan tindakan pelaksanaan perawat banyak yang sesuai prosedur dan juga tingkat umur produktif serta jenis kelamin perempuan mampu berkonsentrasi dan teliti dalam melakukan tindakan terutama pelaksanaan perawatan WSD.  
  Dalam melakukan pelaksanaan yang terbanyak tidak dilakukan berdasarkan pendidikan adalah SPK berjumlah 5 orang atau 11,11 %, berdasarkan masa kerja 1–2 tahun berjumlah 8 orang atau 17,78 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki berjumlah 7 orang atau 15,56 %, dan berdasarkan umur <25  tahun berjumlah 6 orang atau 13,33 %.
Hal ini disebabkan oleh pendidikan yang kurang standar dalam tingkat pendidikan perawat dan juga umur yang lebih muda yang berpengaruh dalam melakukan tindakan yang diakibatkan kurangnya pengalaman serta keinginan belajar yang kurang, sedangkan dalam jenis kelamin terutama laki–laki kurang teliti dalam melakukan pelaksanaan dan selalu melakukan secara spontan tanpa berpikir lebih kritis serta melakukan tindakan yang ingin cepat selesai dan  seadanya, serta kurangnya pelatihan dan pengalaman dalam standar operasional prosedur terutama dalam tindakan perawatan WSD.

c.      Tabulasi karakteristik berdasarkan pendidikan, masa kerja, jenis kelamin dan umur dengan evaluasi perawatan WSD oleh perawat  di RSUD Ulin Banjarmasin
1)     Keadaan umum
          Hasil penelitian dari melakukan evaluasi keadaan umum yang lengkap berdasarkan pendidikan adalah DIII berjumlah 25 orang atau 55,56 %, berdasarkan masa kerja 3-5 tahun berjumlah 19 orang atau 42,22 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan berjumlah 24 orang atau 53,33 %, dan berdasarkan umur 25–35 tahun berjumlah 17 orang atau 37,78 %.

Dapat terlihat bahwa dalam melakukan evaluasi keadaan umum sesuai dengan standar pendidikan perawat serta pengalaman yang cukup sehingga dalam melakukan tindakan yaitu evaluasi keadaan umum banyak yang sesuai prosedur dan juga tingkat umur produktif serta jenis kelamin perempuan mampu berkonsentrasi dan teliti dalam melakukan tindakan terutama evaluasi keadaan umum pada pelaksanaan perawatan WSD.  
Dalam melakukan evaluasi keadaan umum yang terbanyak tidak dilakukan berdasarkan pendidikan adalah SPK berjumlah      5 orang atau 11,11 %, berdasarkan masa kerja 1–2 tahun berjumlah 6 orang atau 13,33 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki berjumlah 6 orang atau 13,33 %, dan berdasarkan umur  <25  tahun berjumlah 10 orang atau 22,22 %.
Hal ini disebabkan oleh pendidikan yang kurang standar dalam tingkat pendidikan perawat dan juga pengalaman kerja sedikit yaitu 1–2 tahun yang berpengaruh dalam melakukan tindakan yang diakibatkan kurangnya pengalaman serta keinginan belajar yang kurang, sedangkan dalam jenis kelamin terutama laki–laki kurang teliti dalam melakukan pelaksanaan dan selalu melakukan secara spontan tanpa berpikir lebih kritis serta melakukan tindakan yang ingin cepat selesai dan  seadanya, sedangkan umur lebih muda yaitu <25 tahun dalam melakukan evaluasi kadang tidak dilakukan dikarenakan kurang keinginan untuk belajar mengerjakan serta sering menunggu perintah seniornya juga kurangnya pelatihan dan pengalaman dalam standar operasional prosedur terutama dalam tindakan perawatan WSD.
2)     Ekspansi paru
Hasil penelitian dari melakukan evaluasi ekspansi paru yang terbanyak tidak dilakukan berdasarkan pendidikan adalah DIII berjumlah 26 orang atau 57,78 %, berdasarkan masa kerja 3-5 tahun berjumlah 17 orang atau 37,78 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan berjumlah 24 orang atau 53,33%, dan berdasarkan umur 25-35  tahun berjumlah 16 orang atau 35,56 %.
Dapat terlihat bahwa dalam melakukan evaluasi ekspansi paru lebih banyak tidak dilakukan, hal ini disebabkan oleh kurangnya pelatihan dan pengalaman dalam pengkajian fisik terutama pengkajian fisik pada paru.
3)     WSD
Hasil penelitian dari melakukan evaluasi WSD yang dilakukan terbanyak berdasarkan pendidikan adalah DIII berjumlah 27 orang atau 60 %, berdasarkan masa kerja 3-5 tahun berjumlah 19 orang atau 42,22 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan berjumlah 23 orang atau 51,11 %, dan berdasarkan umur 25–35 tahun berjumlah 20 orang atau 44,44 %.
         Dapat dilihat bahwa dalam melakukan evaluasi WSD sesuai dengan standar pendidikan perawat serta pengalaman yang cukup sehingga dalam melakukan tindakan terutama evaluasi WSD banyak yang sesuai prosedur dan juga tingkat umur produktif serta jenis kelamin perempuan mampu berkonsentrasi dan teliti dalam melakukan tindakan terutama evaluasi WSD pada pelaksanaan perawatan WSD.
          Dalam melakukan evaluasi WSD banyak tidak dilakukan berdasarkan pendidikan adalah SPK berjumlah 4 orang atau 8,89 %, berdasarkan masa kerja >5 tahun berjumlah 4 orang atau 8,89 %, berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan berjumlah 5 orang atau 11,11 %, dan berdasarkan umur  <25  tahun berjumlah 5 orang atau 11,11 %. Hal ini disebabkan oleh pendidikan yang kurang standar dalam tingkat pendidikan perawat dan juga pengalaman kerja >5 tahun yang berpengaruh dalam melakukan tindakan yang diakibatkan masih kurang pengalaman serta keinginan belajar yang kurang serta seringnya rotasi sehingga masa kerja tiap ruang tidak lama, sedangkan dalam jenis kelamin terutama perempuan dalam melakukan evaluasi kadang berfikir dulu dalam setiap melakukan tindakan dan evaluasi serta sedikit penakut dan jijik , sedangkan umur lebih muda yaitu <25 tahun dalam melakukan evaluasi kadang tidak dilakukan dikarenakan kurang keinginan untuk belajar mengerjakan serta sering menunggu perintah seniornya juga kurangnya pelatihan dan pengalaman dalam standar operasional prosedur terutama dalam tindakan perawatan WSD.
PENUTUP
A.            Simpulan
 Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa :
1.      Hampir seluruhnya sebelum perawatan WSD di RSUD Ulin Banjarmasin perawat menyiapkan alat dengan lengkap
2.      Sebagian besar sebelum perawatan WSD di RSUD Ulin Banjarmasin perawat melakukan persiapan pasien dan lingkungan.
3.      Sebagian besar perawat dalam pelaksanaan perawatan WSD sesuai dengan standar operasional prosedur perawatan WSD yang telah ditetapkan.
4.      Sebagian besar perawat setelah selesai melaksanakan perawatan WSD melakukan evaluasi keadaan umum pasien.
5.      Sebagian besar perawat setelah selesai melaksanakan perawatan WSD tidak melakukan evaluasi ekspansi paru.
6.      Sebagian besar perawat setelah selesai melaksanakan perawatan WSD melakukan evaluasi WSD.

B.             Saran
Mengacu pada hasil simpulan di atas; maka disarankan agar :
1.      Perlu dilanjutkan pengawasan, dan bimbingan oleh kepala ruangan dan supervisor klinik keperawatan tentang pelaksanaan perawatan WSD, khususnya pada tenaga perawat baru yang bertugas pada ruangan yang mempunyai insidensi tinggi pasien dilakukan tindakan invasif pemasangan selang dada/WSD. seperti di Ruangan Nusa Indah (bedah Umum) dan Ruang Dahlia (Paru).
2.      Perlunya dibuat suatu famplet/baliho tentang prosedur tetap perawatan WSD berupa gambar-gambar atau ilustrasi yang mudah dipahamai oleh setiap perawat yang ditempel pada dinding ruangan.
3.      Perlunya dilakukaan pelatihan atau penyegaran pada perawat yang mempunyai keterampilan kurang dalam melakukan perawatan WSD terutama dalam hal pemeriksaan fisik saluran pernapasan oleh bagian Diklat RSUD Ulin Banjarmasin agar keterampilan perawat menjadi seragam terhadap pelaksanaan perawatan WSD.
4.      Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang terkait dengan peran manajerial keperawatan dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam meningkatkan kelengkapan dokumentasi yang optimal tentang perawatan WSD.
5.      Pada penelitian yang akan datang diharapkan menggunakan metode pengumpulan data yang lebih bervariasi. Demikian pula jenis penelitian yang digunakan sebaiknya menganalisis faktor-faktor yang berhubungan atau berpengaruh terhadap variabel pada penelitian ini.




DAFTAR RUJUKAN
Akbar, A. 2009. Persepsi Pasien Tentang Pelaksanaan Fisioterapi Dada oleh Perawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin STIK Muhammadiyah Bajarmasin

Arikunto S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:   Rineka Cipta

Gaffar, L.J. 1999. Pengantar Keperawatan Propesional. Jakarta. EGC.

Hudak & Gallo. 1997. Perawatan Kritis. Alih bahasa. Sonny Samsudin, Cetakan I. Jakarta : EGC.

Indonesia & Tim Perawatan Luka dan Stoma Rumah Sakit Dharmais. 2004, Perawatan Luka. Jakarta

Muttaqin, A. 2007. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Pernapasan.        Aplikasi Pada Praktek Klinik Keperawatan. Banjarmasin, Unpublished

-------2007.  SOP & SAK Ruang Dahlia (Paru) RSUD Ulin Banjarmasin… Komite Keperawatan & Ketehnisian Medik

-------2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Pernapasan, Jakarta. Salemba Medika.

Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan, Teori dan aplikasi. Jakarta. Rineka Cipta.

Pedoman Penulisan dan Ujian Skripsi tahun 2007. Banjarmasin. STIK Muhammadiyah Program S-1 Keperawatan. Banjarmasin.

Potter & Perry. 2006. Fundamental Keperawatan. Konsep, proses dan praktik. Alih Bahasa Yasmin, A. Edisi ke 4. Jakarta. EGC.

SMF Paru RSUD Ulin Banjarmasin. 2007. Standar Diagnosis & Terapi Gawat Darurat. Banjarmasin

Somantri, I. 2009. Asuhan Keperwatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta. Medika Salemba.

Sukrisno, A. dkk. 2007. Jurnal Ners. Surabaya. PSIK FK Unair dan PPNI Jawa Timur Surabaya

Walton,Robert L. 1990. Perawatan Luka dan Penderita Perlukaan Ganda, Alih bahasa. Sonny Samsudin, Cetakan I. Jakarta : EGC.
Widiyatun, T. R, 1999. Ilmu Perilaku. Jakarta : CV. Sagung Seto

Yayasan Sepuluh Juni Akademi Perawatan Pandan Harum, 2005. Pedoman   Keterampilan Praktek Klinik Keperawatan. Banjarmasin
,